N

57 4 0
                                    

Shankara menjalani semua aktivitasnya dengan lancar. Ia kabur dari rumah yang otomatis ia terlepas dari kedua orang tuanya, tetapi di rumah barunya ada Kak Arsha yang selalu membantunya bila kesusahan, ada juga Arkatama yang konstan mengunjunginya selama lima hari ini.

Hari Sabtu sore ini Arkatama datang dengan kabar buruk. Ia mengatakan bahwa ayahnya Shankara dipecat dari kerjanya karena menyebabkan keributan yang besar beberapa hari yang lalu. Ia juga menyebutkan bahwa ayah Shankara dan Ibu Shankara mengatakan bahwa mereka akan berpisah atau cerai.

Hati Shankara mencelos mendengarnya. Ia tidak bisa menyalahkan Arkatama karena Shankara sendirilah yang memaksa Arkatama memberitahunya perihal kedua orang tuanya. Shankara merasa semesta sedang menertawakannya. Untuk apa dia bertahan selama ini, untuk apa dia diam selama ini hanya untuk melihat kedua orang tuanya berpisah.

Shankara berjanji kepada dirinya sendiri ketika nanti ia punya anak, Shankara akan memperlakukan anaknya dengan baik lebih dari siapa pun. Ia akan mengajak anaknya ke taman bermain, ia akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan anaknya, ia akan memperlakukan anaknya bak berlian yang berharga. Ia tak akan pernah memukuli anaknya, Ia tak akan pernah menampar anaknya, ia tak akan pernah melarang anaknya jika ingin pergi ke bazar. Ia-

Tes..

Setetes air mata jatuh membasahi celana Shankara. Ah, ia menangis ketika sedang larut dalam pikirannya. Pemuda itu cepat-cepat menghapus air matanya sebelum orang lain melihatnya. Shankara terkekeh miris. Arkatama yang baru saja datang dari kamar mandi memandang heran ke arah Shankara. Mata dan hidung Shankara merah, Arkatama yang mengetahui apa sebabnya lantas langsung memeluk Shankara.

“Gak apa-apa Shan, tunggu sebentar lagi. Nanti ketika kita keterima beasiswa di Jerman kamu bisa membuka lembaran baru. Saya yakin kita berdua pasti keterima. Kamu mungkin kehilangan sosok ayah sama ibumu tapi kamu ada saya, ada Awan, juga ada Kak Arsha,”

“Kami selalu ada untuk kamu. Kamu sudah saya anggap seperti adik saya sendiri walaupun kita hanya beda beberapa bulan,” ucapan yang tua terdengar sangat menenangkan bagi Shankara. Hingga Shankara tak dapat lagi menahan tangisnya. Ia menangis tak bersuara di dekapan yang tua. Arkatama merasakan bahunya basah, ia kemudian tersenyum kecil lalu mengelus rambut Shankara pelan.

°°°

Pemuda dengan kulit tan khasnya terlihat tengah fokus berkutat dengan buku-buku latihan soal di ruang tamu. Sejak omongannya dengan Arkatama kemarin perihal beasiswa ke Jerman itu, Shankara menyatakan bahwa ia tak ingin diganggu karena hari ini ia akan full belajar non-stop dari pagi. Arkatama menyetujui pernyataan Shankara, ia juga akan belajar dengan tekun agar sama-sama bisa pergi ke Jerman dengan sahabatnya.

Tak terasa sekarang sudah pukul Sembilan malam. Shankara mengemasi barang-barangnya yang perlu ia bawa esok. Ia terlihat panik ketika tak kunjung menemukan barang yang ia cari untuk di bawa besok. Shankara mengobok-obok tasnya berusaha mencari kartu pesertanya. Perasaannya sebelum ia kabur dari rumah ia sudah memasukkan semua barang yang penting baginya.

Arsha baru saja datang dari kegiatan yang ada di kampusnya, kemudian berlalu melewati kamar Shankara mendapati Shankara yang sedang membongkar tasnya.

             “Cari apa Shan?” Tanya Arsha.

             “Kartu peserta tes-ku kak. Besok harus dibawa. Duhh dimana yah,” Shankara makin panik kala Arsha memergokinya yang tengah mengobrak-abrik tasnya. Salahkan Shankara karena tidak menyiapkannya dari jauh-jauh hari.

             “Apa ketinggalan di rumah ya?” gumam Shankara namun masih bisa didengar oleh Arsha.

             “Jadi? Mau cari di rumah kamu?” Tanya Arsha. Shankara mengangguk, tetapi ini sudah larut malam lantas bagaimana caranya Shankara ke sana.

             “Kak Arsha,” cicit Shankara. Arsha berdehem menjawab panggilan pemuda berkulit tan itu.

             “Saya boleh pinjam motor?” Tanya Shankara.

             “Memangnya kamu bisa naik motor?” gelengan kepala Arsha dapat sebagai balasan dari pertanyaannya.

             “Kamu siap-siap, saya antar,” ujar Arsha, ingin segera berlalu tetapi menundanya karena suatu hal.

             “Kunci rumah ada?” Tanya Arsha.

             “Ada kak, kebetulan saya punya kunci serep karena orang tua saya sering telat pulang ke rumah,” ujar Shankara menjawab pertanyaan Arsha.

             “Oke, saya ganti baju dulu. Kamu jangan terlalu panik, kalau tidak ada di tas kamu pasti tertinggal di rumah,” ujar Arsha menenangkan.

°°°

             Shankara tiba di rumahnya berboncengan dengan Arsha. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh, sudah cukup larut. Shankara sudah diberitahu oleh Arkatama bahwa rumahnya kosong beberapa hari ini karena ibunya memilih pulang ke rumah orang tuanya serta ayahnya yang tidak tau kemana. Ayah dan Ibu Shankara belum  resmi bercerai, mereka masih harus melakukan sidang perceraian.

             Pemuda berkulit tan itu turun dari motor Arsha, kemudian membuka gerbang rumahnya. Sekilas Shankara menoleh ke arah rumah yang berada di depan rumahnya, rumah Arkatama. Ah sepertinya Arkatama sudah tidur dikarenakan lampu kamarnya mati.

Iyalah, Arkatama harus tidur pagi agar dia mempunyai energi yang cukup untuk tes esok. Seharusnya Shankara juga seperti itu, tapi apalah daya karena kecerobohan dirinya sendiri ia harus bersusah payah. Untung saja Arsha bersedia untuk mengantarkan Shankara pulang ke rumahnya.

Shankara melangkahkan kakinya mendekati pintu rumahnya. Kakinya tak sengaja menendang sesuatu, ia melihat ke bawah untuk mengetahui objek apa yang tertendang olehnya. Sepasang sepatu kulit berwarna hitam, itu sepatu milik ayahnya. Apakah ayahnya ada di rumah saat ini? Shankara harus lebih berhati-hati lagi.

Ia membuka pintu rumahnya sepelan mungkin. Mengendap-endap seperti pencuri padahal ini rumahnya sendiri. Matanya tak menangkap sosok ayahnya, berarti ayahnya sekarang sedang berada di kamar. Ia sampai pada pintu kamar tidurnya, lantas Shankara segera masuk kemudian mencari barang yang membuat ia jauh-jauh harus ke sini.

Shankara sudah berhasil menemukan barang yang ia cari. Rupanya kartu pesertanya terselip di antara buku tulis Shankara yang lain. Namanya manusia pasti pernah membuat kesalahan. Shankara keluar dari kamarnya, akan tetapi kakinya tak dapat ia gerakkan setelah matanya menangkap sosok yang selama ini ia hindari.

“Saya kira tikus mana yang berani menyelinap ke rumahnya Adityatama. Ternyata hanyalah tikus kecil yang tak tahu diuntung.”

°°°

TBC

Teu-Ha~
Tmi, gue nangis pas nulis chap ini, bisa tebak gak di bagian mana?
Emang emosi saya nih mudah tersentuh, apalagi bayangin anak kesayangan sy si Jongu.

Jangan lupa vote yaa, oh ya aku saranin baca ulang aja, biar lebih kerasa emosinya wkwk.

Teu-Bye~

Tentang Shankara || HajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang