Bab 9 - Awal dari Kebencian

488 27 3
                                    

Revisi
.
.
.

Buru-buru setelah kelimanya pulang dari rumah sakit, Naresh dan Aruna mencari keberadaan Ayah dan Ibu mereka yang saudaranya beritahukan sudah ada dirumah.

"Gue ke kamar Ayah dulu," ucap Naresh sambil menatap saudaranya yang lain.

"Kak Runa ikut," 

"Tunggu!" Ucap Arga menghentikan langkah kedua adiknya itu.

"Kemari, kalian duduk dulu. Kakak ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Ucap Arga.

"Kakkk! Gue mau liat Ayah Ibu dulu!" Seru Naresh tak bergerak dari tempatnya.

"Kakak bilang duduk!" Seru Arga.

Meski kesal Naresh tetap menuruti kakaknya untuk duduk dan mendengarkannya berbicara.

"Huh, apa kak?! Cepet, gue mau ketemu sama mereka aja lo halangi terus! Ada apa?!" Tanya Naresh yang sudah mendudukkan dirinya di sofa bersama saudara-saudaranya yang lain.

"Lo juga ngapain sih nangis?! Belet berak?! Sono WC deket!!" Seru Naresh dengan raut yang semakin jengkel melihat Raka yang menangis tanpa sebab.

"Maaf--," ucap Arga mengalihkan fokus Naresh kemudian.

"Apa sih kak, maaf buat apa?!"

Runa hanya menatap bingung dengan percakapan kakaknya. Hanya melihat sambil mendengarkan dengan seksama apa yang mereka bicarakan. Raut wajah kakaknya Arga nampak begitu serius.

"Maaf gue bohong sama kalian, Ayah dan Ibu meninggal akibat kecelakaan itu, mereka--"

"Haha lucu banget lo kak! Bercandaan lo bener-bener ya, ngga ada bahan lain sampai-sampai mereka lo jadiin bahan?!!" Seru Naresh. Benar-benar sesuatu yang tidak pernah disangka saudaranya akan melontarkan candaan bodoh seperti itu terhadapnya.

"Kak Arga, kalian ngga mau nunjukin Ayah Ibu ke kita ya? Sampai-sampai bohong kaya gitu?" Ucap Aruna.

"Sungguh, kakak minta maaf." Ucap Arga mencoba menggenggam tangan kedua adiknya. Namun Naresh menepisnya dengan cepat.

"Kak!!! Ngga gini caranya, lo udah kebangetan kalo kaya gini!!!" Teriakan Naresh mampu membuat saudaranya yang lain terkejut.

Naresh mengacak rambutnya, begitu frustasinya mendengar ucapan sang kakak yang ngga masuk akal baginya.

"Ayo, kakak anter ke makam mereka."

Runtuh benar-benar runtuh, hati Naresh bagai hancur berkeping-keping. Batu nisan yang terpampang jelas nama kedua orangtuanya disana, dua makam yang bersandingan dengan bunga yang masih segar diatasnya.

"Runa!!" Seru Dimas yang melihat bungsunya terduduk lemas. Dia peluk erat tubuh sang adik, kedua mata Aruna hanya menunjukkan tatapan kosong pada kedua manik sayu nya tanpa adanya tangis.

"Disisi lain Naresh dengan isak tangisannya memeluk batu nisan kedua orangtuanya." Arga hanya mencoba menenangkannya. Juga dengan Raka yang melihat kedua saudaranya itu kembali menjatuhkan air matanya.

*****

Hening menyelimuti perjalanan mereka kembali ke kediaman Mahendra.

Langkah yang biasanya riang, diiringi canda tawa dari mereka hari ini hilang. Langkah lemas nya menuju ruang keluarga, Naresh jatuhkan tubuhnya disana. Masih tidak menyangka. Kenapa? Mereka tidak selamat sedangkan aku?

Yang lain masih berdiri memandang Naresh. Runa dengan tatapan kosongnya disamping Dimas. Sejenak diam, Naresh kemudian mengeluarkan tatapan tajamnya menuju sang adik.

Trauma Aruna Mahendra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang