"Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa anda didiagnosis mengidap alzheimer."
Abiyyu terdiam di hadapan poli obgyn yang sudah satu jam lalu mulai sepi. Dia sengaja berdiam diri disini karena dia tahu Wira dan kawan kawannya pasti sedang mencarinya saat ini. Biasanya Biyyu akan pergi ke rooftop. Angin semilir beserta pemandangan kota selalu berhasil menerbangkan seluruh beban yang ada di pundaknya. Namun kali ini berbeda. Biyyu tidak lagi memilih rooftop sebagai tempat pelarian.
Dia disini. Duduk diam di hadapan sebuah poli obgyn yang pernah dia datangi dua puluh dua tahun yang lalu. Biyyu ingat dia masih sangat muda saat itu. Begitu pun juga dengan gadis itu. Dulu, yang menjadi beban pikirannya adalah bagaimana mungkin gadis yang menurutnya paling berharga malah disia-siakan oleh suaminya sendiri? Tidak jarang juga dia sering bertanya dalam benaknya sendiri,
Apa yang akan terjadi jika saat itu kamu lebih memilih aku?
Tapi tidak peduli berkali kali pun Biyyu bertanya demikian, gadis itu selalu memberikan jawaban yang sama. Lewat mata indah itu, Biyyu berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selama ini mengendap di hatinya.
Karena aku mencintainya, Biyyu.
Benar. Cinta. Dalam hal itu Biyyu selalu kalah. Bahkan ketika dia berani bersumpah bahwa cintanya lebih besar dari apapun di dunia ini, Biyyu tetap kalah. Tapi dia tidak menyerah. Berkali kali dia membujuk gadis itu untuk hidup saja dengannya. Tapi tetap, jawabannya selalu sama hingga gadis itu akhirnya pergi. Dia menjalani hidupnya sendiri begitu pun juga dengan Biyyu.
Hari ini, bahkan setelah dua puluh dua tahun berlalu. Biyyu masih tetap mencintainya. Ingatan yang dia kubur dalam dalam tiba tiba muncul ke permukaan hanya karena dia duduk diam di depan poli obgyn. Dia sendiri pun tidak tau kenapa langkahnya membawa dia kemari. Namun, diantara banyaknya hal berat yang telah Biyyu lalui hari ini, mengingat gadis itu kembali adalah bagian terbaiknya.
"Biyyu!"
Biyyu tersenyum. Dia menatap jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul tujuh malam. Itu artinya sudah dua jam dia duduk disini. Dan Wira, laki laki itu membutuhkan waktu dua jam untuk menemukannya. Payah!
"Gila! Akhirnya ketemu juga!" ujar Wira dengan ngos-ngosan.
"Kemana aja, Wir? Gue nungguin lo lama banget disini."
Wira memukul belakang kepala Biyyu dengan lumayan keras.
"Heh, Sarap! Gue mana tau lo ada disini. Gue cari muter muter tetep aja nggak ketemu. Mana nih rumah sakit gede banget lagi."
Biyyu hanya diam sembari mengelus kepalanya. "Kok dipukul sih? Lo nggak denger dokter bilang apa tadi? Alzheimer, Wir. Nanti kalau gue tiba tiba hilang ingatan disini gimana?"
Wira terdiam. Dia tahu Biyyu sedang berperang dengan dirinya sendiri saat ini. Wira tahu Biyyu sengaja pergi ke poli obgyn karena pasti Biyyu sedang merindukan 'dia'. Wira tahu dari awal. Dia bahkan mendudukkan dirinya di depan poli penyakit dalam yang letaknya tidak jauh dari poli obgyn. Wira ada disana selama dua jam. Dia memberikan Biyyu waktu untuk dirinya sendiri hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri laki laki itu.
"Nggak bakalan. Entah di masa kini atau di masa depan, lo nggak akan kehilangan ingatan lo karena gue ada disini, Bi."
"Alzheimer bisa bikin orang mati nggak sih, Wir?"
"Nggak bisa."
"Jangan sotoy. Lo nggak denger dokter bilang apa tadi? Kemungkinannya cuma dua. Kalau nggak mati ya pikun. Lo bisa bayangin nggak sih Wir... rasanya lo hidup tapi nggak inget apa apa. Lo ada diantara banyak orang tapi rasanya lo tetep hidup sendirian karena nggak ada yang bisa lo inget. Daripada hidup menyiksa kayak gitu, mending mati aja nggak, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Pak Biyyu
Fiksi Remaja"Sebelum gue lupa sama semuanya, gue mau jadi seorang Bapak, gue mau punya anak. Tanpa harus menikah dan berkomitmen sama seorang wanita." Abiyyu Agnibrata, didiagnosis alzheimer saat usianya menginjak empat puluh dua tahun. Dokter bilang dia akan k...