"Kenapa namanya Meraki?" Tanya Abiyyu pada Mada ketika mereka makan di warung pecel lele dulu.
"Meraki artinya melakukan sesuatu dengan cita dan cinta, Pak."
"Itu berarti kamu membangun Meraki dengan cita dan cinta milik mu?"
"Bukan hanya cita dan cinta milik saya, Pak. Meraki mampu berdiri hingga saat ini karena ada cita dan cinta semua orang yang ada di dalamnya."
Malam ini Abiyyu berdiri tepat di depan sebuah bangunan yang sudah rata dengan tanah karena kebakaran seminggu yang lalu. Ingatannya kembali pada saat dirinya menemukan Mada untuk yang pertama kalinya di tempat ini.
Ya, di tempat inilah Sekala Madya menangis dan meraung padanya untuk menyelamatkan Meraki. Padahal jika difikir fikir, bangunan dengan nama Meraki itu sangat jauh dari kata layak. Abiyyu tidak percaya jika tempat yang ditopang oleh sembilan puluh lima persen kardus itu layak dijadikan sebagai tempat belajar.
Namun mendengar jawaban dari Mada hari itu membuat Abiyyu memutuskan untuk kembali lagi kesini. Biyyu ingin melihat Meraki dari dekat dan mencoba untuk memahami makna serta tujuan yang Mada torehkan disini.
"Meraki seperti sebuah tempat dimana saya bisa bebas menjadi diri saya sendiri. Disana, tidak ada paksaan apapun. Hati saya pun yang awalnya berat menjadi begitu ringan."
Langkah demi langkah Abiyyu ambil disini. Dia menapaki reruntuhan sisa Meraki yang kini menjadi abu. Hati kecil milik Abiyyu rasanya dicubit ketika menyadari bahwa disinilah Mada membangun mimpinya. Disinilah Mada meletakkan seluruh cita dan cintanya dengan penuh seluruh. Namun, mimpi milik pemuda itu telah rata dengan tanah. Api memakan seluruh keyakinan Mada tentang mimpi dan menjadikannya abu yang kemudian terbang bersama angin.
Lagi dan lagi, Sekala Madya kehilangan mimpinya.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?"
Abiyyu tersentak ketika seorang pria setengah abad datang padanya dan bertanya demikian.
"Tidak ada, Pak. Saya hanya... Melihat lihat."
Pria tua itu menganggukkan kepalanya. Namun tetap, dia tidak berlalu dari sana. Alih alih berlalu, Pria tersebut malah ikut terdiam bersama Abiyyu.
"Dulu, di atas kaki anda berdiri ini ada sebuah bangunan dengan nama Meraki."
Abiyyu hanya diam mendengarkan Pria ini bercerita.
"Dua tahun yang lalu, ada anak muda yang datang pada saya dengan niatan untuk membeli sepetak tanah yang akan dia bangun sebagai tempat belajar. Saya tidak mau menjual tanah warisan orang tua saya pada seorang pemuda yang baru menginjak usia dewasa. Saya pikir pemuda itu hanya main main."
Pria ini namanya Pak Sabda. Lima tahun yang lalu dia diwarisi sepetak tanah oleh orang tuanya yang baru saja meninggal. Tiga tahun setelahnya, Mada datang dan meminta Pak Sabda untuk menjual sepetak tanah itu pada dirinya. Pak Sabda tidak mau.
Alasannya selain karena dia belum mampu percaya pada Mada adalah, karena orang tuanya berpesan untuk menjadikan sepetak rumah ini sebagai ladang pahala bagi keduanya. Pak Sabda bingung, bagaimana caranya membentuk sepetak tanah ini menjadi ladang pahala?
Letak tanah ini sangat tidak strategis. Kanan kiri dipenuhi dengan sampah pun juga dengan suara bising kendaraan yang akan mengganggu konsentrasi. Belum lagi kalau kereta melintas. Membentuk bangunan dengan basis pendidikan seperti sekolah ataupun TPQ sangat tidak cocok disini.
Memangnya siapa yang mau pergi belajar ke tempat yang kumuh seperti ini?
Ya, itu hanya fikiran awal dan kekanakan milik Pak Sabda. Hingga Mada datang lagi dan lagi tanpa bosan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Pak Biyyu
Fiksi Remaja"Sebelum gue lupa sama semuanya, gue mau jadi seorang Bapak, gue mau punya anak. Tanpa harus menikah dan berkomitmen sama seorang wanita." Abiyyu Agnibrata, didiagnosis alzheimer saat usianya menginjak empat puluh dua tahun. Dokter bilang dia akan k...