"Wir, kenapa Tuhan nggak pernah membiarkan gue bernafas dengan lega? Dada gue nggak pernah terasa ringan sejak Papa pergi. Itu nggak pernah sekalipun membaik bahkan sampai detik ini, semuanya masih sama. Kepergian Papa tetap semenyakitkan itu untuk diingat."
"Wir, kenapa Tuhan ngasih penyakit yang mengerikan ini ke gue?"
Wira ingat. Malam sebelum Abiyyu menghilang, mereka berdua saling mengobrol lewat ponsel pada dini hari. Abiyyu yang biasanya selalu menyembunyikan apapun yang dia rasakan tiba tiba saja menelfon Wira dan bercerita panjang lebar tentang rasa takutnya.
Dari dulu yang mampu Wira ingat dari Abiyyu adalah, temannya itu tidak suka dua hal.
Melupakan dan dilupakan.
Abiyyu tau betul betapa sengsaranya melupakan orang yang begitu dia cintai di masa muda. Abiyyu ingat betapa dia hampir mati menanggung cinta sendirian. Pun juga dengan dilupakan, Abiyyu faham betul semenyakitkan apa ketika Papa tiap kali bertanya,
"Kamu siapa?"
Luka yang diciptakan karena dua hal itu tidak pernah kunjung membaik. Abiyyu masih saja terluka sampai saat ini. Wira tau betul sekeras apa Abiyyu berusaha untuk membuat hidupnya baik baik saja. Pria itu bahkan belum menikah dan berikrar untuk tidak pernah melakukannya sebagai akibat dari luka yang dia dapatkan di masa lalu.
Abiyyu sudah cukup menderita selama ini. Wira berani bersaksi bahwa sekalipun temannya ini begitu ingin mati, tapi sungguh Biyyu tidak pernah benar benar melakukannya dengan alasan,
"Wir, gue pengen mati. Tapi gue takut Tuhan marah."
Bahkan di titik terendahnya sekalipun, Abiyyu masih punya iman dalam hatinya. Dan seharusnya, untuk ukuran manusia yang masih punya rasa takut, untuk ukuran manusia yang hobi membantu, untuk ukuran manusia yang tidak pernah jahat pada orang lain, bukankah Tuhan seharusnya mampu memperlakukannya dengan lebih baik?
Abiyyu tidak suka melupakan dan dilupakan, lantas kenapa Tuhan memberinya alzheimer?
Wira menghela nafasnya. Dua hari. Sudah terhitung dua hari Abiyyu menghilang dan Wira tidak mampu menemukannya. Terakhir kali ketika Biyyu mengatakan bahwa dia melupakan semuanya, Wira bergegas untuk mengecek GPS hp milik Biyyu dan menuju lokasi terakhir dimana Biyyu berada.
Namun nyatanya,
Nihil.
Tidak ada siapapun disana. Hanya ada mobil dan ponsel yang ditinggalkan. Sedangkan Abiyyu, Wira tidak tau kemana perginya pria itu. Sungguh. Wira menyusuri sepanjang jalan untuk bisa menemukan temannya dan hasilnya tetap sama.
Dia tidak mampu menemukan Abiyyu dimana pun. Hingga akhirnya, dia tiba tiba berpikir untuk menuju rumah baru milik Abiyyu. Ya, rumah yang rencananya akan digunakan Biyyu sebagai pondok. Mungkin saja Biyyu ada disana.
Mobil yang Wira kendarai terparkir rapi di depan rumah Jawa modern milik Biyyu. Tanpa menunggu lama, dia langsung bergegas masuk dan betapa terkejutnya dia,
Tiga orang pemuda tengah tidur dengan nyenyak di teras rumah.
"Apa ini? Mereka siapa?" Tanyanya seorang diri.
Wira berjalan mendekat. Dia amati lamat lamat wajah ketiga anak ini, barangkali dia ada yang kenal. Tapi tidak peduli sekeras apa Wira berusaha, dia tetap tidak bisa mengenali mereka mereka ini. Hingga akhirnya,
"AAAAAAAAA!" Pemuda dengan baju warna merah dan celana pendek hitam itu tiba tiba berteriak.
Wira sontak saja menjauh. Teriakan bocah baju merah itu langsung membangunkan dua temannya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Pak Biyyu
Teen Fiction"Sebelum gue lupa sama semuanya, gue mau jadi seorang Bapak, gue mau punya anak. Tanpa harus menikah dan berkomitmen sama seorang wanita." Abiyyu Agnibrata, didiagnosis alzheimer saat usianya menginjak empat puluh dua tahun. Dokter bilang dia akan k...