Keping Sembilan ; Lima Kurang Satu

41 9 28
                                    

Hujan turun dengan lumayan deras malam ini. Anak anak Abiyyu lebih memilih untuk mengurung diri di kamar semenjak Biyyu pamit pergi keluar satu jam yang lalu. Mari kita lihat mereka di kamarnya masing masing.

Kamar nomor satu, ada Mada dan Kama yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Mada hanya diam di atas tempat tidur. Pikirannya melayang pada keadaan Asep yang kian hari kian memburuk. Operasi yang dilakukan nyatanya tidak sepenuhnya berhasil. Belum lagi tentang biaya yang harus ditanggung. Semua keadaan itu berhasil membuat Mada kalut.

Lalu Kama, pemuda itu terdiam di depan jendela sembari melihat derasnya hujan malam ini. Dia ingat, dulu saat Ibu masih hidup, wanita itu akan selalu datang padanya untuk minta dipeluk. Alasannya begitu sederhana. Karena ibu takut hujan. Suara berisik yang diciptakan dari hasil pergesekan air hujan dan genteng rumahnya cukup membuat ibu takut. Belum lagi suara petir dan gemerlap kilat yang bersahutan. Di malam malam yang seperti ini, Kama yang biasanya menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri tidak akan lagi kesepian karena Ibu akan datang padanya.

"Abang Mada takut hujan, nggak?" Tanya Kama secara tiba tiba.

Memang diantara semua anak yang dibawa oleh Pak Biyyu, Kama merasa paling dekat dengan Mada karena dua anak itu datang lebih dulu dari siapapun disini. Karenanya, Kama amat sangat bersyukur Abiyyu menjadikannya satu kamar dengan Mada untuk seminggu ini.

"Ha? Apa? Gimana?"

Kama tersenyum tipis mendengar jawaban dari Mada. Rupanya, pikiran Bang Mada juga sedang melayang jauh.

"Kama tanya, Abang Mada takut sama hujan, nggak?"

"Nggak takut. Kenapa emang?"

"Sama. Kama juga nggak takut."

Mada tersenyum dibuatnya. Dia kemudian bangkit dan berdiri di sebelah Kama untuk sama sama melihat air hujan yang dengan derasnya turun malam ini.

"Terus kenapa tanya kalau nggak takut?"

"Kama emang nggak takut sama hujan. Tapi Ibu... Ibu takut sama hujan."

"Ibu Lo... Takut sama hujan?"

"Iya. Ibu selalu datang ke Kama setiap kali hujan turun. Ibu bakalan peluk Kama erat erat sampai pagi." Ungkapnya dengan sendu.

"Abang Mada dipeluk Ibunya Abang kalau lagi apa?" Tanya Kama secara tiba tiba.

"Mama peluk gue setiap kali gue pulang sekolah."

"Irinyaa... Kama dipeluk Ibu kalau hujan doang."

"Kenapa gitu?"

"Nggak tau. Bentar ya, Aku ke dapur dulu. Haus, mau minum. Abang Mada mau diambilin sekalian?" Tawarnya yang ditanggapi gelengan oleh Mada.

Kama pun segera berlalu dari sana. Mada hanya diam melihat punggung milik Kama yang menghilang di balik pintu kamar. Dan malam itu, Mada akhirnya tau. Bahwa Bhajkama Dierja rupanya punya luka yang lebih buruk dari miliknya.

Disisi lain Syeka tengah sibuk memandangi gambar dirinya dan sang ibu yang diambil sekitar tujuh belas tahun yang lalu. Kalau Syeka tidak salah, dia berusia lima tahun saat itu. Ibu membawanya pergi ke pantai untuk yang pertama kalinya. Syeka ingat dia banyak berlari dan membuat ibu cukup kelelahan. Mereka disana hingga sore hari. Kemudian saat pulang, ibu membelikannya arum manis sebagai penutup hari yang indah itu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya tidak ada banyak hal yang mampu Syeka ingat tentang ibu. Hanya senyum dan binar mata indah yang membekas hingga hari ini. Meskipun seperti itu, Syeka ingin terus mengingat ibu dengan ingatannya yang tersisa.

Malam ini rasanya cukup damai mengingat Heksa tidak kembali ke kamar sejak tadi. Entahlah, Syeka sendiri juga tidak tau apa yang sedang pemuda prik itu lakukan sekarang. Sebenarnya, satu kamar dengan Heksa tidak pernah terasa benar benar buruk bagi Syeka. Dia malah senang senang saja karena setiap kali dia terbangun di tengah malam, ada seseorang yang mampu dia lihat sebagai teman yang juga sedang tidur pulas di seberang ranjangnya. Singkatnya dengan keberadaan Heksa, Syeka jadi tidak merasa kesepian lagi.

Pondok Pak Biyyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang