[A message]
From : Pak Saman
Nggak bisa, Mas. Dokter bilang kalau uangnya nggak ada, Asep nggak bisa dioperasi.Mada menghela nafasnya. Dia bingung harus mendapatkan uang darimana lagi untuk biaya operasi Asep. Dokter bilang, ada perdarahan dalam otak yang tiba tiba muncul selepas operasi pertama. Mau tidak mau, Asep harus dioperasi lagi untuk yang kedua kalinya demi keselamatan hidup milik anak itu.
Masalahnya adalah, Asep tidak bisa dioperasi jika tidak ada uang muka. Mada sendiri pun sudah kehabisan uang. Dia bingung harus mencari uang kemana lagi untuk biaya operasi Asep. Semua barang miliknya mulai dari laptop, sepatu, bahkan beberapa baju pun telah Mada jual. Barang berharga miliknya sekarang hanyalah handphone. Jadi, haruskah Mada menjualnya?
Saat dirinya sedang sibuk memikirkan biaya operasi Asep, sebuah pesan kembali masuk ke ponsel miliknya.
[a message]
From : Pak Sabda
Lupakan tentang membangun Meraki kembali. Bangunan itu sudah rata dengan tanah. Lagi pula pagi tadi saya sudah tanda tangan persetujuan untuk menjadikan tanah itu sebagai tanah milik pemerintah.Apa apaan Pak Sabda ini?! Bukannya Mada dan dirinya sudah sepakat untuk membangun Meraki kembali? Bukankah Pak Sabda memberikan dukungan sepenuhnya untuk Mada? Kenapa Pria tua ini tiba tiba mengatakan bahwa dia sudah tanda tangan persetujuan pengalihan tanah pribadi menjadi tanah milik pemerintah?
Mada ingin marah. Dia ingin berteriak pada keadaan. Bagaimana mungkin semua hal sulit menghantamnya secara bertubi tubi. Belum selesai masalah pembayaran operasi milik Asep, Mada sekarang dibingungkan tentang kemana dia harus membawa Meraki?
Tidak. Mada tidak bisa menyerah disini. Meraki adalah segalanya. Di tempat itu Mada merasa hidup. Di tempat itu, Mada menemukan mimpi mimpinya. Sudah berkali kali dia kehilangan mimpi, dia tau betul betapa pahit rasa itu. Jadi dia tidak akan menyerah kali ini. Ya, dia tidak bisa menyerah untuk Meraki.
Tapi, bagaimana caranya?
Di sisi lain, ketika Mada sedang hanyut dalam pikirannya sendiri, Abiyyu sebenarnya sudah berdiri tidak jauh dari tempat Mada duduk. Biyyu memperhatikan Mada selama hampir lima belas menit.
Pria itu tidak sengaja melihat Mada yang tengah diam sendirian di halaman belakang. Sejenak Abiyyu bertanya tanya, kenapa Mada pergi ke halaman belakang di jam satu dini hari? Bukankah seharusnya dia tidur dengan nyaman di dalam kamar seperti saudara saudaranya yang lain?
Meskipun dalam benak Abiyyu ada begitu banyak pertanyaan untuk Mada, pria itu tidak langsung menghampiri putra sulungnya itu. Dia hanya diam sembari mengamati Mada dari jauh. Beberapa kali, pemuda itu tampak meremas rambutnya sendiri. Berkali kali juga Mada tampak menghembuskan nafasnya kesal. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jadi Biyyu pun memutuskan untuk menghampiri pemuda itu.
"Ekhem."
Mada tersentak ketika Biyyu berdehem tepat di telinganya. Pemuda itu bahkan sampai memegang dadanya sendiri saking terkejutnya.
"Kaget ya?" Tanya Abiyyu sembari terkekeh.
Mada hanya mengangguk sembari tersenyum sebagai jawaban.
"Kenapa diam disini?" Tanya Abiyyu sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Mada.
"Belum ngantuk, Pak. Bapak sendiri? Kenapa kesini?"
"Sama. Bapak juga belum ngantuk"
Kemudian hening diantara keduanya. Mada tidak tau harus membicarakan apa dengan Pak Biyyu. Dia takut salah bicara dan tiba tiba minta pinjaman uang untuk biaya operasi Asep.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Pak Biyyu
Teen Fiction"Sebelum gue lupa sama semuanya, gue mau jadi seorang Bapak, gue mau punya anak. Tanpa harus menikah dan berkomitmen sama seorang wanita." Abiyyu Agnibrata, didiagnosis alzheimer saat usianya menginjak empat puluh dua tahun. Dokter bilang dia akan k...