"Mimpinya Abang Mada apa?"
Kala itu ketika Asep bertanya padanya, Mada hanya diam. Dia juga tidak tau mimpinya apa. Dulu saat dia masih kecil, Mada ingin jadi seorang arsitek. Kemudian saat menginjak kelas tiga SD, Mada ingin jadi pembalap. Lalu ketika dia kelas enam, Mada ingin jadi seorang pemadam kebakaran.
Lucu memang. Mimpi mimpi itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Tapi bagi Mada, semua itu percuma. Karena Papa sudah menetapkan Mada harus jadi apa ketika dia sudah dewasa kelak.
"Kamu harus jadi dokter."
"Kenapa begitu, Pa?"
"Karena Mama dan Papa juga dokter."
Saat itu Mada bertanya pada dirinya sendiri. Memangnya jika Mama dan Papa dokter, dia juga harus jadi dokter? Bagaimana jika dia tidak mau? Kenapa Mada tidak memiliki hak nya untuk bermimpi?
"Kalau misalkan Mada nggak mau?" Tanya nya saat itu.
Mada bisa melihat jelas raut kecewa di wajah Papa. Mimik wajah milik pria itu bahkan berubah menjadi datar.
"Kamu mau jadi apa emangnya?"
"Jadi apa aja, Pa. Selain dokter."
"Ditanya mau jadi apa saja masih bingung. Mimpi kamu tuh nggak jelas, Mada. Bocah kayak kamu kalau nggak diarahin malah jadi berandal! Papa nggak mau tau. Mau tidak mau kamu harus jadi dokter."
Papa dan ucapannya yang tidak bisa diganggu gugat berhasil membuat Mada hidup dalam tekanan. Mada berusaha dengan keras untuk bisa masuk fakultas kedokteran. Namun, Mada gagal pada percobaan pertamanya.
"Memalukan! Bodoh! Anak hewan kamu! Bagaimana bisa kamu nggak lulus?! Papa menghabiskan banyak biaya untuk persiapan mu masuk kedokteran! Tapi kamu! Bodoh! Kamu anak yang paling bodoh, Mada! Otak mu otak udang!"
'tes'
"Bang Mada kenapa nangis?"
Mada hanya tersenyum. Mengingat tentang mimpi maka dia akan selalu ingat pada Papa, kemudian ingatan itu akan terhubung pada setiap tindakan dan kalimat kalimat kasar yang Papa lontarkan karena Mada tidak mampu memenuhi keinginannya menjadi seorang dokter.
"Asep udah makan?"
Bukannya menjawab, Mada malah bertanya hal lain. Asep hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Yaudah, sebelum bang Mada pulang, gimana kalau kita cari makan dulu?"
"Ayok, Bang. Temen temen yang lain juga belum pada makan."
Mada berdiri. Dia mengusap puncak kepala Asep dengan lembut.
"Iya, nanti kita beli juga buat mereka."
Malam ini, setelah pertengkarannya dengan Papa yang cukup panjang, pergi ke Meraki dan bertemu dengan Asep telah berhasil membuat hatinya membaik.
****
"Darimana saja kamu?"
Langkah Mada terhenti. Lampu yang tadinya padam tiba tiba menyala. Pria ini belum tidur ternyata. Mada menghela nafasnya. Tanpa menjawab apa apa, Dia melepas tasnya dan mengeluarkan beberapa buku kedokteran kemudian menyodorkannya pada Papa.
Papa hanya diam. Pria tua itu menganggukkan kepalanya. "Kenapa sampai jam segini? Papa tanya Niko anaknya Om Harto, katanya udah pulang dari jam delapan."
"Pergi ke perpus dulu."
"Oh."
Mendengar jawaban Papa, Mada pun acuh tak acuh. Dia memasukkan kembali bukunya ke dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Pak Biyyu
Fiksi Remaja"Sebelum gue lupa sama semuanya, gue mau jadi seorang Bapak, gue mau punya anak. Tanpa harus menikah dan berkomitmen sama seorang wanita." Abiyyu Agnibrata, didiagnosis alzheimer saat usianya menginjak empat puluh dua tahun. Dokter bilang dia akan k...