Lima Belas

39 5 1
                                    

"Kamu belum pernah makan di sini, ya?" tanya Aruna. Setelah seminggu tidak saling memberi kabar, Palupi muncul di kafe untuk memenuhi janjinya. Aruna yang diberi kebebasan memilih, menunjuk Nasi Goreng Kenangan sebagai tempat pilihannya.

Palupi menggigit sate kerangnya. "Pernah dengar tapi belum pernah makan di sini."

Aruna mengangguk sembari memotong telur setengah matang di piringnya, menyendok nasi goreng lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Kenapa?" tanya Aruna setelah menelan nasinya.

"Enggak ada alasan tertentu. Ya, enggak pernah saja." Palupi mengambil sisa sate yang terletak di hadapannya.

Aruna menatap Palupi yang sedang mengunyah sate kerangnya. Mendapat wewenang menentukan tempat, Aruna langsung menyebut nama warung tempat mereka berada sekarang tanpa berpikir untuk bertanya apakah Palupi menyukai tujuan makan mereka.

"Enggak apa-apa, kan, makan di sini? Atau kita bisa cari tempat lain?"

"Enggak apa-apa. Saya bebas makan di mana saja," balas Palupi meyakinkan Aruna.

"Saya juga enggak masalah makan di mana saja. Malah cenderung lebih suka makan di warung-warung sederhana dan legendaris. Kayak Warung Nasi Goreng Kenangan ini."

"Atau Mie Ayam Haji Mahmud."

Aruna tertawa mendengar kata-kata Palupi. "Bener. Mie Ayam Haji Mahmud. Kedai Kopi Apek. Eh, ada satu lagi. Teh Susu Telur Pak Haji," tambahnya. "Saya pengen banget mencicipi makanan di warung-warung legendaris di seluruh Indonesia. Belum kesampaian, sih. Belum ketemu temen jalan yang pas kayaknya. Kelak mungkin."

Palupi menatap Aruna. Tersenyum. Semakin sering bersama gadis di depannya ini semua terasa semakin menyenangkan. Mungkin beginilah dulu perasaan yang dirasakan Ray. Hah, jangan sampai dia mengalami hal yang sama seperti adiknya. Dia harus menangkis segala pesona Aruna. Kalau tidak, bukannya memenuhi janji kepada Ray, yang ada mereka sama-sama terluka oleh gadis yang sama.

"Keinginan yang unik."

"Kata Lintang sih, keinginan yang ribet. Ogah banget dia kalau pas berkunjung ke suatu tempat, terus saya ajak mencari warung makan legend. Mau makan saja, kok, ribet, katanya. Yah, mau enggak mau saya mengalah. Enggak enak juga kalau makan sendiri. Tapi, kadang-kadang kalau mood saya lagi menggelora, saya pergi sendiri juga."

Obrolan keduanya berlanjut. Berbagi informasi tentang tempat-tempat makan favorit, makanan kesukaan, perkembangan bisnis masing-masing, dan keluarga. Meski untuk urusan selera makan mereka tidak memiliki banyak kesamaan, tetapi mereka memiliki pandangan yang sama dalam menyikapi perbedaan. Tidak perlu didebat. Tidak perlu juga dipaksa. Seperti sekarang, saat Aruna ingin makan nasi goreng di warung legendaris langgananya, Palupi memilih menikmati satai kerang kesukaannya.

"Kamu pernah mendengar kedai Kopi Akur?" tanya Palupi.

"Kedai Kopi Akur?"

"Iya. Kedai Kopi legend banget. Usianya sudah mencapai 126 tahun. Waktu saya sedang berkunjung ke kota Seribu Dolar untuk urusan bisnis pelek. Salah satu rekanan mengajak minum kopi di sana. Selain kopi,  ada roti bakar dengan selai srikaya yang khas. Menurut saya, tempat dan rasa makanannya unik dan legend banget. Kamu harus menyempatkan diri datang ke kedai kopi itu. Kalau dari sini butuh waktu enam jam naik kereta. Atau kamu bisa ikut kalau saya berkunjung ke rekanan saya yang ada  di sana."

Kalimat ajakan penuh basa-basi, tapi tak bisa dicegah, jantung Aruna berdebar lebih kenjang dari sebelumnya. Tapi, sepertinya bukan karena tawaran Palupi yang bikin jantungnya loncat-loncat enggak karuan. Pasti karena kedai kopi legend yang diceritakannya. Aih, sejak kapan pula jantung Aruna berdebar-debar hanya karena mendengar ada warung atau kedai legend yang baru dia ketahui?

Aruna tidak ingin cepat-cepat mengakui Palupi berbeda dari mantan-mantannya terdahulu. Meskipun, sejauh ini belum ada satu hal yang membuat dia  harus melepas laki-laki itu.. Hanya saja, memutuskan Palupi  sosok yang selama ini dia cari, pun rasanya masih terlalu cepat.

Ajakan makan Palupi malam itu menjadi awal ajakan-ajakan makan berikutnya. Aruna sadar Palupi mulai memperlakukannya lebih dari sekadar pemilik kafe dengan pai susu yang bikin nagih. Laki-laki itu mulai sering menghubunginya, mengobrol lewat telepon atau sekadar mengirim pesan ucapan selamat malam dan semoga tidurmu nyenyak.

Seperti malam-malam libur sebelumya, malam ini Palupi pun berjanji menjemput Aruna. Hanya saja, hampir satu jam berlalu, namun laki-laki itu tak kunjung muncul. Aruna menarik napas lalu menghembuskannya keras lebih keras. Dia menggeser layar ponsel. Melihat jam digital di HP-nya entah untuk yang keberapa kalinya.

"Palupi belum datang, Na?" tanya Lintang sembari duduk di sebelah sepupunya. 

"Belum," jawab Aruna pelan sembari menunduk.

"Macet kali, Na," ucap Lintang mencoba menenangkan. Sebuah usaha yang sia-sia tentunya. Wajah Aruna tetap saja menyiratkan rasa kesal sekaligus kecewa yang begitu kentara. "Sudah coba kamu hubungi?"

Aruna merapatkan bibir. Tatapannya menerawang ke arah pintu kafe. Disentuhnya lagi layar ponselnya, menggulir daftar kontak yang ada kemudian berhenti di nama Palupi. Namun, dia segera menutup layar ponselnya kembali. "Sudah puluhan kali," jawabnya tidak bersemangat. "Masuk. Tapi, tidak diangkat."

Lintang menyesap tehnya. Seperti Aruna, dia juga menatap ke arah pintu. Sepertinya harapan Lintang melihat Aruna berhenti dengan petualangannya belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Karena terlambat merupakan salah satu kriteria yang dibenci sepupunya itu.

Semua bermula dari rasa sakit hati Aruna terhadap ayahnya yang selalu membiarkan gadis di sebelahnya ini menunggu berjam-jam. Bahkan di saat momen-momen penting dalam hidupnya.

Masih segar dalam ingatan Lintang bagaimana sepupunya itu masuk kedalam kamarnya lengkap dengan baju yang Lintang tahu sengaja dipersiapkan sepupunya dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke-15. Aruna tidak mengatakan apapun selain kata, "malam ini aku tidur di sini." Selang beberapa waktu, Lintang melihat tubuh gadis itu bergetar. Menandakan kalau dia sedang menangis.

Keesokan harinya, dalam penjelasan singkat, Lintang akhirnya tahu, ayah Aruna terlambat dua jam ke acara makan malam itu. Keterlambatan entah untuk yang keberapa kalinya dalam momen-momen penting hidup Aruna. Bahkan laki-laki itu pernah tidak datang sama sekali sewaktu Aruna mengikuti lomba memasak tingkat remaja di kotanya. Aruna kecewa berat. Apalagi sewaktu sang ayah, alih-alih meminta maaf, laki-laki itu hanya mengatakan kalau dia lupa.

Hari ini, Lintang kembali melihat kekecewaan yang sama di wajah Aruna.

Lintang mendesah melihat Aruna bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur. "Kamu mau ngapain?" tanyanya begitu berhasil menyusul gadis itu.  Dia bersandar di pintu sambil memperhatikan Aruna yang sedang mengikat tali apronnya kemudian membaca daftar pesanan kue kotak salah satu pelanggan mereka.

"Itu besok diambil pukul dua siang. Cuma 100 kotak juga. Malam ini kita santai saja dulu. Ada film horor baru tayang di Netflix. Kita nonton, yuk," ucap Lintang berusaha menghentikan Aruna.

Aruna menghempaskan daftar pesanan itu ke meja. Ditariknya napas lalu menghembuskannya kasar. Gila. Bisa-bisanya dia sekecewa ini hanya karena Palupi terlambat dan ponselnya tidak diangkat. Tidak. Dia tidak boleh terbawa perasaan. Palupi memang memenuhi beberapa kriteria yang dia buat. Tapi, lihat, hari ini laki-laki itu sudah menunjukkan hal sebaliknya. Bukankah ini sebuah proses. Proses dalam rangka mengetahui seseorang bisa dijadikan pasangan atau tidak. Kalau tidak cocok ya, lepas saja. Kemudian cari lagi. Bukankah selama ini juga begitu. Lantas, kenapa kali ini harus kecewa?

Setelah menghembus napas, Aruna melepas apron dan menggantungnya di tempat dia biasa menaruh seragam kesayangannya itu. "Yuk, kita nonton. Cari film horor yang paling seram. Aku lagi mood banget ini," ajaknya sembari merangkul Lintang. 

Namun, sebelum mereka keluar dari dapur, ponsel Aruna berdering.  Palupi calling.

 Up Date, dong. Sila dibaca. Jangan lupa ninggalin jejak, ya. 

Terimakasih.

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang