Tujuh Belas

18 5 2
                                    

Seperti biasa mobil Nata berhenti di depan rumah Aruna dan Lintang. Namun kali ini, Palupi tidak membiarkan Aruna turun sendiri. Dia mengantar gadis itu sampai ke depan pintu.

"Makasih," ucap Aruna sembari memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan.

Palupi mengangguk. "Terimakasih tetap mau menemani saya makan."

Rania cemberut pura-pura merajuk. "Jangan diulangi lagi. Setidaknya tolong kabari kalau kamu datang terlambat. Saya tidak suka menunggu dan menebak-nebak."

"Akan saya ingat selalu," Janji Palupi.

Seolah kehabisan kata-kata keduanya saling diam sampai beberapa saat. Palupi menatap Aruna. Sementara yang ditatap memilih tidak membalas tatapan intens dari laki-laki bermata teduh di depannya. Dalam diam dia sibuk mengatur detak jantungnya yang rusuh.

"Saya pulang sekarang," ucap Palupi akhirnya memecah keheningan yang tercipta.

Aruna mendongak lalu mengangguk. "Take care, Palupi."

Palupi maju selangkah menebas jarak di antara mereka. Sekali lagi ditatapnya Rania intesn kemudian mengelus pipi gadis itu lembut. "Selamat malam," ucapnya kemudian.

Aruna terpaku. Ditatapnya Palupi yang kembali masuk ke mobilnya, lalu melaju pelan kemudian menghilang di ujung jalan. Tanpa sadar Aruna menyentuh pipi tempat dimana tangan Palupi tadi singgah. Sentuhan ringan itu bukan hanya meninggalkan rasa hangat di pipi tetapi juga di hatinya. Detak jantungnya yang mulai tenang kini kembali rusuh.

Mobil Palupi sudah tak terlihat lagi, tapi Aruna masih berdiri di tempatnya semula. Angin malam yang mulai dingin menyentuh tubuhnya sehingga menyadarkannya untuk segera beranjak. Aruna masuk ke dalam rumah. Mobil brio merah sudah mengisi garasi menandakan Lintang sudah pulang juga. Semula dia berniat menemui sepupunya itu, namun, setelah menimbang-nimbang sejenak dia urung melakukannya. Tanpa menghidupkan lampu Aruna melintasi ruang tamu menuju kamarnya.

"Eehhh... yang baru pulang kencan."Suara Lintang terdengar dari sofa di tengah ruang tamu.

"Woy!" teriak Aruna terlonjak. Cepat dia berjalan menuju saklar di dinding untuk menyalakan lampu. "Ih, kamu, ya!" ujarnya sambil melotot. "Ngapai duduk di gelap-gelapan begitu?"

Lintang tertawa melihat tatapan galak Aruna. Giginya saling beradu seolah ingin mengunyahnya hidup-hidup. "Halah. Enggak usah lebay," ujar Lintang mengibaskan tangannya di udara. "Kayak baru tahu kalau aku suka duduk dalam gelap."

Ya, Aruna tahu Lintang mempunyai kebiasaan yang menurutnya aneh. Meski dalam kondisi lapar, dia lebih memilih masuk ke kamar, mandi, lalu berbaring dalam kondisi gelap. Seperti mengisi ulang tenaga yang terserap habis karena lelah bekerja seharian.

Aruna mendengus mendengar ucapan Lintang. Meski masih sedikit kesal, dia tetap mendekat.

"Gimana makan malamnya?" Tanya Lintang begitu Aruna duduk di sebelahnya.

"Lumayan," gumam Aruna. Pertanyaan Lintang mengingatkan Aruna sentuhan lembut Palupi, menghadirkan kembali rasa hangat yang tadi dia rasakan.

"Kenapa aku melihatnya enggak cuma lumayan, ya?" Lintang menatap Aruna penuh selidik. "Terus itu pipimu kenapa memerah begitu?"

Aruna melirik Lintang tajam. "Enggak usah sok tahu, deh," ucapnya berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh pipinya yang dia tahu pasti sudah berubah warna. Gila banget, sih, efek Palupi untuknya.

"Mana mungkin aku sok tahu. Wajahmu menjelaskan semuanya."

Risiko suasana hati langsung terbaca lewat wajah itu, ya, begini. Enggak bisa menyembunyikan perasaan. Apalagi dari Lintang. Gadis itu terlalu mengenal dirinya. Luar dalam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang