Sebelas

117 19 1
                                    

"Hai, juga," jawab Aruna seramah mungkin. Keberadaan piring kecil berisi dua buah pai susu mengingatkannya akan janji Palupi di akhir pertemuan mereka.

"Kemarin kamu janji mau cerita tentang kebiasaan anehmu itu."

Palupi menggeser kopi yang baru diletakkan Yos. Menyesapnya sedikit kemudian meletakkannya di tatakan kecil bening yang tersedia kemudian menggeser piring kecil berisi dua buah pai susu yang tadi dibwanya.

Aruna memperhatikan semua yang dilakukan Palupi dalam diam. Tangan kirinya menopang dagu. Senyum tipis menghias bibir cantiknya melihat laki-laki mengambil satu pai lalu menikmatinya pelan-pelan.

"Mama yang mengajari saya menikmati pai susu dengan cara begini. Makannya pelan-pelan saja. Nikmati sedikit demi sedikit. Kalau kamu menghabiskan dalam jumlah banyak sekaligus kamu bisa bosan dan kehilangan keinginan untuk menikmatinya lagi, kata mama setiap kali kami menikmati pai buatannya." Palupi tercenung mengingat percakapannya dengan sang Mama.

"Itulah sebabnya saya selalu pesan dua setiap kali datang. Saya tidak mau kehilangan rasa suka hanya karena menikmatinya terlalu banyak sekaligus."

Aruna mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Tapi, menikmati mi ayam mana bisa pelan-pelan. Keburu dingin dan minya semakin membesar, batin Aruna.

"Makanan favoritmu apa?" tanya Palupi sembari menatap Aruna. Senyum tipis bertengger di bibirnya yang sedikit menghitam karena nikotin.

Aruna melepas tangannya dari dagu. Menghadap kembali ke Coffe Bar. Diteguknya green tea yang yang masih separuh sebelum kembali menoleh. Sontak jantungnya kembali melompat-lompat rusuh. Palupi ternyata masih menatapnya, menunggu dengan sabar jawaban dari pertanyaannya. Aruna mati gaya. Memiliki mantan pacar belasan ternyata tidak membuatnya immun saat ditatap dengan lembut dan sabar begitu.

"Saya menyukai semua roti yang saya buat," jawab Aruna diplomatis.

"Pasti ada satu yang paling kamu suka," desak Palupi.

Membicarakan makanan favorit otomatis menghadirkan bayangan semangkuk mi ayam di kepala Aruna. "Sebenarnya ada satu makanan yang selalu ingin saya nikmati dalam kondisi terbaik maupun terburuk hidup saya," jawab Aruna sembari tersenyum.

Palupi menatap Aruna. Menunggu perempuan itu melanjutkan kata-katanya.

"Mi Ayam."Akhirnya Aruna menyebutkan nama makanan paling disukainya itu namun tidak pernah berniat mempelajari resep dan cara membuatnya.

Mi Ayam? Tukang kue di sebelahnya ini menyukai mi ayam alih-alih roti atau apapun yang dia buat sendiri.

"Kenapa mi ayam?" kejar Palupi. Samar dia melihat ekspresi muram melintas di wajah Aruna. Hanya sekilas. Selanjutnya senyum ceria kembali menghias wajah cantiknya.

"Enggak ada alasan khusus. Suka saja."

"Serius?"

"Suka sama sesuatu kan enggak mesti pakai alasan."

Palupi tertawa pelan mendengar ucapan Aruna. Tidak mau kalah dan jago ngeles beda tipis memang.

"Jadi, cara menikmati makanan favorit kita beda. Kalau kamu menikmati pai susu kesukaanmu itu dengan cara pelan-pelan sambil diresapi, nah, kalau aku makan mi ayam harus cepat-cepat. Kalau lama-lama keburu dingin dan minya bisa membesar."

Tidak ada jawaban dari sosok di sebelahnya membuat Aruna menoleh. Ternyata Palupi sedang sibuk dengan ponselnya. Melihat itu Aruna membuka toples nastar, mengambil satu lalu menikmatinya dalam diam.

"Kamu pernah mencicipi mi ayam di sini?" tanya Palupi menyodorkan ponselnya supaya Aruna bisa melihat apa yang ingin dia tunjukkan. "Sebentar. Aku cari gambarnya yang lebih jelas." Palupi menarik ponselnya lagi.

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang