Empat Belas

125 12 2
                                    


Mobil Palupi berhenti di depan bangunan tanpa dinding dan beratap tinggi. Ada sekitar tiga mobil parkir di bawahnya. Tiga orang laki-laki menduduki kursi plastik yang tersedia. Masing-masing sibuk dengan ponsel mereka. Satu mobil berada di atas tanjakan mobil. Tampak oli sedang menetes ke wadah yang diletakkan di bawahnya. Sementara itu sebuah meja berkaki gendut tidak terlalu lebar terletak di sisi lain tempat itu.

"Duduk, dulu, Na." Palupi menarik kursi untuk Aruna kemudian memasuki ruangan yang bagian atas pintunya bertuliskan staf only.

Lewat tatapannya, Aruna mengkuti kemana Palupi pergi. Dia beralih memperhatikan sekelilingnya setelah tubuh jangkung laki-laki itu menghilang di balik pintu. Dua orang mengenakan seragam warna hitam dengan garis merah di bagian lengan dan dada tampak serius di depan mobil dengan kap terbuka. Entah sedang membicarakan apa. Satu mobil berada di sisi lain. Salah satu mekanik berada di bawahnya. Dan sebuah mobil tidak jauh dari hadapannya tidak sedang diapa-apakan.

Tidak banyak montir yang tampak. Hanya ada lima. Suasananya juga tidak terlalu ramai. Berbeda sekali dengan bengkel langganan Aruna. Bengkel Palupi terkesan sepi dan minim pengunjung.

Seperti halnya gadis lain, bengkel bukan tempat favorit Aruna. Bahkan untuk urusan oli dia lebih sering meminta Lintang yang melakukannya. Dan secara otomatis menjadi tanggung jawab Jonathan. Kalau sekarang dia bersedia meluangkan waktu mengikuti ajakan Palupi, ya, karena sikap laki-laki itu menunjukkan satu dari tujuh kriteria yang dibuatnya. Bukankah usaha selalu berbanding lurus dengan hasil? Nah, kalau ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, ya, harus berkorban. Salah satunya dengan duduk di bengkel Palupi. Bersabar dengan gerah yang membuat lehernya sedikit berkeringat. Menunggu laki-laki itu menyelesaikan pekerjaannya kemudian mengantar Aruna pulang sesuai janjinya tadi.

Sentuhan dingin di lengan membuat Aruna menoleh. Palupi kini berdiri di sebelahnya menatapnya sembari menyodorkan minuman kemasan. Alih-alih menerima botol minuman pemberian Palupi, Aruna malah terkesiap. Palupi tampan itu jelas. Sejak awal Aruna sudah mengakuinya. Postur tubuhnya yang gagah semakin tampak sempurna dengan hidung mancung plus mata hitam yang menyorotkan ketenangan yang menghanyutkan. Namun, penampilannya kali ini menunjukkan hal yang berbeda. Celana jin dan kaos tanpa lengan itu tidak hanya membuat Aruna lupa bernapas, tetapi sungguh sanggup membuat Aruna lupa menerima minuman yang disodorkan laki-laki itu.

"Na," panggil Palupi sekali lagi. Botol minuman dengan titik-titik air di bagian luarnya masih terulur ke arahnya.

Aruna kelagapan namun segera mampu menguasi keadaan. Diterimanaya botol minuman itu sembari tersenyum. Membuka tutupnya lalu minum secukupnya.

"Saya tinggal sebentar, ya, Na," pamit Palupi yang dijawab Aruna dengan anggukan.

Dua jam berlalu. Dugaan Aruna kalau bengkel Palupi sepi pelanggan meleset. Mobil-mobil itu datang dan pergi silih berganti. Satu mobil baru saja selesai ditangani kemudian datang satu lagi. Begitu terus silih berganti. Bahkan di saat para montir dan Palupi sedang bersiap-siap menutup bengkel karena jam operasional menyisakan waktu sepuluh menit lagi, masih ada mobil yang datang dan pemiliknya memohon-mohon supaya Palupi memeriksa mobilnya.

Dalam diam Aruna menunggu keputusan Palupi. Dia memang menginginkan laki-laki dengan semangat kerja tinggi alias bukan pemalas. Tetapi memiliki suami gila kerja sampai lupa waktu bukan lelaki impiannya. Tanpa sadar Aruna menghembus napas lega saat mendengar Palupi menolak dan meminta untuk datang lagi besok.

Tepat pukul setengah enam sore bengkel tutup. Satu per satu montir meninggalkan bengkel setelah yakin semua alat-alat mereka masuk ke dalam penyimpanan barang dan menguncinya.

"Yuk, Na," ajak Palupi begitu berada di hadapan Aruna. Penampilan laki-laki itu sudah segar kembali. Sama sekali tidak tampak kalau habis berkutat dengan oli dan mobil.

Palupi berjalan menuju mobilnya verada kemudian membuka pintu untuk Aruna. Setelah gadis itu duduk cepat-cepat dia memutari mobil, masuk dan duduk di kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mobil, Palupi menoleh ke arah Aruna dan berucap, "Thank's, ya, Na, sudah mau menunggu." Diam sejenak sebelum akhirnya dia melanjutkan "Sebagai permintaan maaf untuk waktumu yang kacau hari ini, saya traktir makan malam. Tempat kamu yang tentukan."

Aruna menoleh sejenak. Merapatkan bibirnya sejenak. Enak juga ditraktir makan. Pakai menentukan sendiri pula tempatnya. Artinya dia bebas memilih dan Laki-laki di sebalahnya ini siap mengantar kemanapun. Hanya saja waktunya tidak tepat. Ada pekerjaan yang harus dia dan Lintang selesaikan. Setengah jam yang lalu saja sepupunya itu sudah heboh mengingatkan untuk langsung ke toko.

"Thank's untuk tawarannya, Nat. Tapi, malam ini ada pekerjaan yang harus saya dan Lintang selesaikan di toko," ucap Aruna. Ditatapnya Palupi sambil tersenyum.

Palupi mengangguk maklum. "Tapi saya akan tetap traktir kamu. Demi ketenangan jiwa saya karena sudah membuatmu menunggu lama."

Aruna tersenyum mendengar kata-kata Palupi. Akhirnya dia memang harus menunggu. Janji hanya sebentar berubah menjadi lama. Aruna tahu, setiap kali mobil masuk, Palupi menoleh ke arahnya dan menunjukkan ekspresi rasa bersalah.

"Boleh. Percaya lah, saya bukan tipe yang suka menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi ditraktir," ucap Aruna sembari menoleh dan tersenyum. "Saya takut kamu yang enggak kuat melihat selera makan saya yang naik lima tingkat setiap kali ada yang bayarin."

"Perlu kamu ketahui juga, semangat saya naik lima tingkat setiap kali ada yang bersedia menerima ajakan makan dari saya. Kita lihat saja, setahan apa kamu menerima tawaran saya," ucap Palupi tidak mau kalah.

"Oke. Kita lihat saja nanti."

"Deal."

"Deal."

Palupi menjalankan mobilnya melintasi jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin belum. Langit senja kemerahan mengiringi perjalanan mereka. Aruna melirik ke sebelah kanan. Wajahnya memanas karena Palupi juga melakukan hal yang sama. Lirikanmereka bersirobok. Menimbulkan gelenyar-gelenyar mengasikkan. Setelah saling lempar senyum, keduanya sama-sama Kembali menatap jalanan dan orang-orang yang saling mendahului laju mobil mereka yang tidak terlalu kencang.

"Jadi, sebagian besar yang datang kebengkel peninggalan ayahmu itu, pelanggan-pelanggan semasa ayahmu masih hidup?" tanya Aruna. Tadi dia sembat mengobrol dengan salah satu pemilik mobil. Laki-laki tua itu bercerita kalau dia sudah menjadi pelanggan bengkel itu sejak masih dipegang ayah Palupi.

"Beberapa. Sebagian sudah meninggal. Hanya saja sebagian diganti oleh anak-anak mereka."

"Pelanggan warisan," gumam Aruna. Ada begitu banyak hal yang bisa diwariskan. Harta, kebaikan, kebencian, dendam, dan pelanggan. Setiap orang tua bebas memilih apa yang akan mereka wariskan kepada anak-anak mereka. Dan bapaknya memilih mewariskan... ah, sudahlah, batin Aruna. Mood-nya selalu berubah buruk setiap kali mengingat seseorang yang dia sebut sebagai ayah. Suami dari ibunya. Yang orang-orang bilang mirip sekali dengannya.

Tanpa sadar Aruna mengembus napas cukup keras. Embusan yang membuat Palupi meliriknya. Palupi ingin bertanya namun saat melihat gurat sedih meski samar mewarnai wajah Aruna, dia urung melakukannya dan memilih membiarkan Aruna sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai mobil berhenti di depan Nantang's Bread&Coffe tidak ada lagi obrolan antara mereka.

Palupi membukakan pintu mobil untuk Aruna, mempersilahkan gadis itu turun.

"Thank's," ucap Aruna.

Palupi menutup pintu penumpang mobilnya, memutar tubuh menghadap Aruna. Menatap gadis di hadapannya sembari tersenyum.

"Makasih juga untuk mi ayam super enak."

"Minggu sore, saya jemput."

"Oke," jawab Aruna. 'Selamat malam'

'Selamat malam,' balas Palupi, lalu kembali masuk ke mobil dan menjalankannya meninggalkan toko roti dan pemiliknya.



Tema lagu di atas enggak ada nyambungnya dengan bab kali ini. Tapi, entah kenapa lirik dan musiknya yang santai membuat ideku mengalir lancar sehingga bisa menyelsaikan bab empat belas ini. 

Sila dibaca man teman. Semoga suka. 

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang