Palupi melirik jam dinding. Setengah dua belas siang. Satu jam lagi menjelang pertemuan. Waktu yang cukup untuk memeriksa ulang berkas-berkas rencana kerja sama dengan pihak Indo Malaya, perusahaan yang akan mendistribusikan pelek dan ban ke Said Ban, bengkelnya. Dia bergegas meninggalkan ruang rapat dan melangkah menuju ruangannya. Dia tersenyum melihat keberadaan Roy di ruangannya.
"Sudah lama?" tanyanya.
"Sekitar setengah jam lah." Roy meletakkan majalah otomotif yang tadi dibacanya.
"Sudah setengah dua belas. Gimana kalau kita makan siang saja. Sudah lama kita enggak makan di rumah makan Padang di belakang bengkel."
"Enggak bisa kalau siang ini. Abang ada meeting setengah jam lagi." Palupi tak menghiraukan dengusan Roy. Dia memilih fokus membaca berkas-berkas di tangannya.
"Ah, padahal udah laper banget, nih."
"Kalau lapar jangan ditahan-tahan."
"Enggak enak banget makan sendirian."
"Kamu ajak Novita saja kalau mau."
"Novita sekretarismu itu, Bang? Ogah banget. Bukannya jadi makan yang ada aku sibuk megangin meja yang bergetar."
Palupi tertawa mendengar ucapan Roy. Bukan rahasia lagi kalau Novita menyukai Roy. Tapi, gadis itu memiliki kebiasaan aneh. Tangannya tidak mau berhenti bergetar setiap kali berada di sekitar Roy, membuat benda-benda yang dipegangnya juga ikut bergetar.
Palupi melirik jam digital di ponselnya. "Pukul dua belas. Abang harus pergi. Atau kamu ikut saja, kita makan siang di Desadesa Resto."
Roy melotot mendengar ucapan abangnya. "Enggak ah. Aku pulang saja. Lagian abang kan tahu aku enggak pernah mau ikut campur urusan bengkel, jadi untuk apa belajar."
Sejak dulu Roy memang tidak pernah berminat dengan bisnis peninggalan orang tua mereka ini. Itulah sebabnya pas kuliah pun dia memilih jurusan tata boga. Masalahnya sampai sekarang, adik semata wayangnya itu belum juga menunjukkan kemampuannya dalam urusan masak memasak.
"Kamu datang cuma untuk ngajak makan siang?" tanya Palupi menatap Roy yang sedang memakai jaket kulitnya.
"Rencananya tadi mau ngobrolin lahan yang kemarin aku tinjau sambil makan siang."
"Ya, udah kita bisa obrolin sambil jalan saja." Palupi menyambar kunci mobil di mejanya.
"Ada lokasi yang pas banget di daerah Lubuk Pakam. Letaknya di pinggir jalan. Kurang lebih satu setengah hektar. Pemiliknya pengen daftar haji jadi dia berencana menjual lahan itu. Tapi harganya tinggi banget." Roy langsung menjelaskan penemuannya begitu Palupi berjalan di sisinya. Beberapa kali obrolan mereka terputus karena Palupi sibuk menyapa pelanggan yang sedang menunggu mobilnya selesai di pegang para teknisi.
"Berapa?" tanya Palupi.
Roy menyebutkan harga yang ditawarkan pemilik tanah. "Enggak ada tawar menawar lagi. Kalau mau ambil kalau enggak ya sudah enggak usah jadi." Palupi melotot mendengar ucapan Roy. "Loh, mereka ngomongnya gitu," jawab Roy menyampaikan apa yang didengarnya dari pasangan suami istri paruh baya itu. "Tapi, menurutku enggak bakalan rugi kalau Abang ambil tanah itu. Lokasinya menjanjikan banget."
"Ya, sudah, besok kita kesana lagi. Abang berangkat dulu." Palupi memasuki mobilnya. Namun ketukan di jendela membuat dia menghentikan keinginan untuk segera melajukan mobilnya. Ditatapnya Roy dengan ekspresi bertanya.
"Bagaimana perkembangan rencana kita terhadap Aruna?"
Palupi langsung tertegun mendengar pertanyaan Roy. Terlalu sibuk membuatnya melupakan rencana mereka itu.
Aruna. Akhir-akhir ini nama itu selalu muncul dalam setiap perbincangan mereka. Pembicaraan kurang bermanfaat tapi tetap harus dilakukan. Termasuk menghabiskan waktu istirahatanya di Nantang's Bread&Coffe Shop. Semua dilakukannya semata untuk bisa bertemu si Aruna, baker sekaligus pemilik toko roti. Meskipun untuk pergi ke sana Palupi harus menghabiskan waktu satu jam. Itu pun kalau tidak sedang macet. Tapi, alih-alih berkenalan, melihat Aruna si biang patah hati di toko rotinya saja, Palupi belum pernah
Terkadang dia heran dengan ingatan adiknya. Dua tahun berlalu namun tak sedikit pun Roy bisa melupakan Aruna, gadis yang katanya telah membuatnya terluka. Seharusnya waktu bisa menyembuhkan rasa sakit tetapi hal itu tidak berlaku untuk Roy.
Andai dia tidak telanjur berjanji untuk menuruti semua permintaan Roy, mungkin saat ini dia dengan gampang menolak melakukan permintaan enggak mutu dan konyol sang adik.
"Nanti sehabis dari Desadesa Resto Abang ke sana." Diam-diam Palupi menghela napas membayangkan jarak yang harus dia tempuh.
"Semoga segera ketemu." Roy menutup pintu mobil abangnya. Tanpa menjawab Palupi membawa mobilnya keluar dari Said Bengkel.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Another Boyfriend
RomanceQiandra Aruna, terkenal dengan sebutan playgirl cap kadal. Tentu bukan playgirl biasa. Aruna memutuskan pacarnya demi mendapatkan laki-laki yang memenuhi tujuh kriteria yang telah dia tetapkan. Berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain...