Dua Belas

119 19 1
                                    

Aruna mengikuti Palupi memasuki bangunan sederhana yang bagian depannya bertuliskan  warung Mi Ayam Rumput. Warung biasa saja tapi pengunjungnya sangat ramai. Hampir semua meja berisi. Ditambah lagi beberapa orang tampak berdiri di sisi kanan kiri lemari display. Melihat itu, Aruna semakin tidak sabar ingin menyicipi rasa mi ayam tersebut. Selama ini dia selalu menganggap mie ayam Haji Mahmud adalah mie ayam terenak yang pernah dia rasakan. Melihat keriuhan warung rekomendasi Palupi ini, Aruna mulai meragukan anggapannya.

"Duduk, Na." Pelan Palupi menarik kursi palstik biru. Setelah Aruna duduk dia memutari meja lalu duduk tepat di depan gadis itu.

Aruna duduk sembari berterimakasih. "Ramai banget, ya," ucapnya takjub.

Palupi mengangguk menanggapi ucapan Aruna. Dia melambai ke arah pelayan yang kemudian datang untuk mencatat pesanan mereka.

"Mi Ayam dua. Satai kerang satu porsi. Kamu minum apa, Na?" tanya Palupi menoleh ke arah Aruna.

"Lemon Tea dingin," jawab Aruna sambli terus memperhatikan keadaan sekitarnya.

"Lemon Tea dingin dua," lanjut Palupi.

Setelah membaca ulang pesanan dalam catatannya, pelayan tersebut pergi meninggalkan keduanya.

"Warung ini mulai buka pukul dua siang dan tutup pukul lima sore. Bahkan terkadang sebelum pukul lima juga sudah tutup." Palupi mulai menjelaskan.

"Cuma tiga jam saja?" tanya Aruna. Matanya membulat menunjukkan rasa kagum yang luar biasa. "Waw," ucapnya tanpa suara.

"Iya," jawab Palupi.

"Makin enggak sabar  saja pingin nyicip."

Aruna mengangguk-angguk sambil  terus memperhatikan seluruh bagian warung. Hanya teras rumah sederhana dengan pohon mangga besar dan rindang di depannya. Terlihat beberapa meja dan kursi di letakkan di bawahnya. Sementara itu rumput hijau terawat mengisi hampir seluruh bagian depan dan samping warung.

"Jangan-jangan warung ini diberi nama Mi Ayam Rumput karena rumput-rumput itu?" bisik Aruna dengan kepala mendekat ke arah Palupi.

"Iya. Sebelumnya warung ini tanpa nama." Palupi menjawab dengan cara berbisik dengan sedikit condong ke depan juga. Sehingga jarak wajah mereka begitu dekat.

"Ada miso kampung juga ternyata," ucap Aruna melirik meja di sebelahnya.

"Iya. Sama larisnya."

"Setelah mi ayam, kapan-kapan saya mau cicip miso kampungnya juga."

"Boleh. saya punya banyak waktu buat temenin kamu ke sini lagi," ucap Palupi sembari menatap sosok di depannya.

Aruna membalas tatapan Palupi. Hembusan napas hangat di wajahnya menyadarkan Aruna akan jarak mereka yang sangat dekat. Tidak tahu sejak kapan. Mungkin saat dia mulai berbicara dengan nada berbisik karena takut pertanyaan-pertanyaannya terdengar sang pemilik warung.

"Kamu ngapain ngomong bisik-bisik?" tanya Aruna setelah menegakkan badannya kembali.

"Kamu yang mulai."

Aruna melotot. Namun, protes yang sudah berada di ujung lidahnya batal terucap melihat pesanan mereka sudah datang.

Asap panas mengepul mengantarkan aroma rempah khas dan segar. Decakan puas terdengar saat dia menyicipi kuah hitam sedikit kuning dari mangkoknya.

"Sedikit terlalu manis. Supaya lebih pas harus ditambah sambal." Aruna memberi penilaian. Ditariknya tempat sambal hijau lalu menuangkan tiga sendok penuh cabai ke mangkoknya lalu mencicipnya lagi. Merasa masih kurang pedas Aruna mengambil sesendok lagi.

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang