Enam Belas

26 3 0
                                    


Setelah dua jam akhirnya laki-laki itu menghubungi Aruna. Gadis itu menatap ponselnya dalam diam. Baru saja dia berpikir kalau Palupi adalah sosok yang dia cari, eh, laki-laki itu sudah membuatnya harus menunggu selama dua jam. Tanpa penjelasan yang bisa dia kirim lewat pesan. Padahal penjelasan sesingkat apapun bisa membuat keadaan berbeda. Bukan hanya keadaan, tapi pikiran Aruna juga.

Proses apa pun yang saat ini sedang mereka coba jalani, sudah selayaknya Aruna menyudahinya. Untuk apa? Jelas-jelas laki-laki itu sudah menyalahi kriteria yang dia buat. Memilih mengabaikan panggilan Palupi, Aruna meneruskan langkahnya menuju lantai dua.

Selang beberapa menit kemudian dering ponselnya terdengar kembali mengisi ruangan yang baru dia masuki. Lintang yang sedang memilih film yang akan mereka tonton menghentikan kegiatannya. Diambilnya ponsel yang baru diletakkan Aruna di meja lalu berdecak melihat nama yang muncul di layar. "Angkat dan jawab. Aku enggak mau nada dering membosankan itu mengganggu konsentrasi menontonku."

Aruna mengabaikan Lintang. Dan benar saja selang beberapa detik ponselnya berbunyi kembali. Pelototan geram Lintang kini menghujam Aruna.

"Terima enggak!" ancam Lintang. Aruna bergeming. "Ya, sudah. Aku saja." Diambilnya ponsel yang masih berbunyi itu.

Hanya dengan satu gerakan, ponsel itu kini berada dalam genggaman Aruna kembali. Membiarkan Lintang menerima panggilan dari Palupi sama saja menyerahkan diri kepada Tante Luna dan ngomong, "Tante tolong cariin aku jodoh. Aku menyerah dan putus asa."

Akhirnya saat ponselnya berteriak lagi, Aruna memilih menggeser tombol hijau di layar dan berucap, "Hallo."

"Aruna...," balas suara di seberang sana terdengar lega. "Saya di depan Nantang's sekarang."

Aruna menghela napas. "Sudah pukul sembilan, Pal."

"Iya, saya tahu. Tapi, Na..." Jeda sesaat. "Saya tunggu di depan. Temuin saya. Sebentar saja."

Aruna maju beberapa langkah menuju jendela dan menyibak tirai putih. Mobil Palupi kini mengisi halaman Nantang's tepat berada di sebelah mobilnya. Dia harus turun menemui laki-laki itu dan mengatakan apa yang seharusnya dia katakan. Seperti yang selama ini selalu dia ucapkan kepada semua mantan-mantan pacarnya sewaktu ingin menyudahi hubungan mereka. Belum resmi pacaran saja sudah seenaknya membiarkan dia menunggu selama dua jam. Tanpa pemberitahuan. Tanpa penjelasan. Untuk apa meneruskan hubungan kalau ujung-ujungnya terluka? Cukuplah selama ini dia melihat rasa sakit di mata ibunya akibat perbuatan ayahnya yang suka sekali membuat perempuan baik itu menunggu. Dia tidak perlu merasakan hal yang sama.

"Sebentar. Saya turun dulu." Setengah berlari dia menuruni anak-anak tangga. Satu kali hentakan dia membuka pintu kafe. Melihat sosok gagah berdiri di sana. Menatapnya dengan ekspresi yang membuat amarah Aruna, meski tidak langsung hilang secara keseluruhan tapi sedikit berkurang. Dengan kata lain tanduk-tanduk amarah di kepalanya kini lenyap satu. Menyisakan satu yang semakin lama semakin mengecil. Jangan-jangan sebentar lagi lenyap secara keseluruhan.

Aruna menatap laki-laki di hadapannya. Gurat lelah tergambar jelas di wajah tampan itu. Lengan baju digulung sampai siku memperlihatkan sisa oli samar di sana. Sepertinya Palupi asal saja membersihkan kedua tangannya. Rambut bergelombangnya terlihat kusut dan lepek. Ada juga yang menempel di keningnya. Hembusan napas lega yang terdengar menyadarkan Aruna dari keterteguannya.

"Sorry...." Hanya satu kata itu yang mampu Palupi ucapkan. Memangnya apa lagi? Jam menunjukkan pukul sembilan malam lewat lima belas menit. Dua jam lebih Aruna menunggu.

Biasanya Aruna tidak butuh waktu lama memutuskan seseorang layak dipertahankan atau sebaiknya dilepas. Sehebat apapun pesona yang ditunjukkan, begitu melanggar satu dari tujuh kriteria yang dia buat, Aruna pasti langsung menghentikan semuanya. Seharusnya hal itu berlaku untuk semua laki-laki. Namun, kata sorry yang diucapkan Palupi mematahkan semuanya. Menghapus rasa kesal yang semula membuncah mengisi hatinya. Sepertinya tanduk kecil yang tersisa di kepalanya sekarang sudah benar-benar lenyap.

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang