“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah!”
“Sah....”
“Alhamdulillah.”
Cintanya itu hilang, beriringan akad yang baru saja Hafis ucapkan di depan para saksi, yang ia dawuhkan di depan wali istri.
Kini pikiran Maira kosong, tatapannya menembus portal kebahagiaan Hafis dan Hasna, namun ia tak menemukan setitik cahaya pun untuk tersenyum.
Semakin ia tenggelam dalam portal itu, semakin ia merasa perih. Begitu tak pantas ia bersedih saat orang lain bahagia.
Maira tak pernah tahu cintanya yang selama ini ia pupuk menjadi sebuah boomerang yang meluluhlantakkan hatinya.
Maira kalah.
Risa mengusap punggung Maira. Gadis itu sangat tahu bagaimana hancur dan sakitnya Maira. Ia cukup mengerti tatapan Maira saat melihat Hafis tanpa diberitahu sepatah kata pun.
Risa juga menghela napas pelan, ia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta dan jodoh itu kuasa Allah, jadi Risa tidak memiliki kekuatan apapun untuk menyatukan sahabat dan kakak laki-lakinya dalam ikatan pernikahan meski ia ingin.
“Aku salah, Sa.”
Risa tak ingin memotong. Ia menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikeluarkan oleh Maira.
“Aku salah karena sudah mengharapkan balasan dari perasaan ini, seharusnya aku tahu diri dari dulu bahwa aku bukanlah siapa-siapa di mata kak Hafis dan akan berakhir seperti ini.”
Maira tetap berusaha tidak menitikkan air matanya. Ia tidak perlu lagi menyembunyikan perasaan yang selama ini ia rasakan kepada Hafis dari Risa.
Karena itulah akhirnya, cinta Maira tidak akan pernah bisa berlabuh di pelabuhan yang ia harapkan.
Risa tersenyum dan menggeleng cepat.
“Cinta itu dari Allah, dan itu bukan sebuah kesalahan, Ra. Bahkan jika kamu tak menginginkannya, kamu tetap takkan bisa menolaknya. Dan hal terpenting yang harus kamu tahu adalah Allah lebih tahu yang terbaik. Untuk kamu, kak Hasna juga kak Hafis.”
“Skenario Allah itu, lebih indah dari apa yang terlihat. Kadang apa yang menyakitkan akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan nantinya.”
Maira mencoba untuk tidak menitikkan air matanya. Ia tidak punya hak apapun untuk bersedih saat ini.
Ia hanya mendesah pelan, kemudian bangkit dengan tatapan yang mengarah pada kedua mempelai di depannya sembari melebarkan kedua sudut bibirnya.
“Aku keluar dulu, Sa...”
"Aku temani ya?" Maira menggeleng.
"Aku pengen sendiri dulu.
***
Jalan penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang. Maira masih juga belum pulang. Ia memutuskan untuk berkeliling seharian dan akhirnya berakhir di sebuah kafe tak jauh dari tempat acara pernikahan.
“Boleh saya duduk?”
Maira langsung mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang melontarkan tanya padanya tiba-tiba.
Tanpa menunggu jawaban, Randy duduk di depannya, membuat Maira segera menghapus air mata karena tak ingin terlihat cengeng di depan pria itu.
Namun, tetap saja mata gadis itu masih terlihat sembab, wajahnya memerah dan sesegukan terdengar halus oleh Randy. Lelaki itu tak tahu apa yang harus ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Menuju Surga
RomanceMaira telah menciptakan kesan pertama yang buruk dengan tetangga barunya. Kesalahpahaman terus terjadi di antara mereka. Hingga suatu hari, keduanya harus saling terhubung karena Alisa. Gadis kecil yang membuat Maira jatuh hati saat kali pertama ber...