5. Katanya, sih, Sahabat

88 16 42
                                    

Naka tiba di indekos setelah hampir tengah malam. Ia sudah berusaha secepat mungkin tiba di indekos, tetapi jarak tempuh membuat ia harus berada di jalanan selama hampir dua jam. Pria berambut terikat itu langsung melepas jaket ojeknya dan mengetuk pintu nomor sepuluh dengan tergesa-gesa. Panggilan dari Ilham sudah serupa titah paduka raja, kalau tidak dituruti, bisa-bisa ia kena ceramah yang lebih panjang daripada ceramah pagi Mamah Dedeh. 

Begitu mendapat jawaban, Naka langsung pura-pura sok cool dengan menegakkan badannya dan berdiri di depan pintu yang bergerak terbuka. Ia berdeham sebelum bertanya, "Kenapa, Ham?" 

Ilham menggeleng. Ia menatap Naka dengan tatapan prihatin. 

"Aguy, kenapa liatnya gitu?" Melihat tatapan Ilham yang aneh, Naka jadi salah tingkah. Ia mengusap tengkuknya sambil cengar-cengir. Ia sempat tertegun karena melihat Ilham mengenakan jaket tebal sebelum keluar dari kamar.  "Ngomong-ngomong, muka lo agak pucet gitu. Sakit?"

"Ayo, ke atas." Ilham memimpin jalan setelah menutup pintu kamarnya. 

Naka tidak lagi banyak bicara. Ia langsung bungkam seketika dan menurut pada Ilham. Kepala Naka sudah berpikir keras. Kalau saja ia hidup dalam dunia kartun, pastilah kepalanya sudah berasap. Ilham memang selalu berwibawa, tetapi kalau wibawanya sudah tumpah-tumpah seperti ini, pasti ada masalah besar. Entah itu tentang indekos atau penghuninya. Jantung Naka sudah konser dadakan. Setiap menaiki anak tangga, degup jantungnya makin tidak karuan. 

"Ka." 

"Iya, Bang." Naka memanggil Ilham dengan sebutan Bang adalah sesuatu yang langka. Saking langkanya bisa saingan sama gerhana. Panggilan itu keluar karena Naka merasa kalau ia melakukan kesalahan atau butuh petuah dari Ilham. Soalnya kadang Wisnu tidak bisa menangani masalah Naka. Kalau sudah mentok sampai putus asa, maka Ilham adalah pilihan terakhirnya. 

"Gue kasih kesempatan buat lo jelasin. Ada masalah apa sama Wisnu? Yoyo sama Nanang udah cerita ke gue."

Naka menelan ludah. Ia paling benci kalau disuruh menjelaskan kesalahannya sendiri. Ia lebih suka menarik diri dan kembali lagi seolah-olah tidak ada yang terjadi. 

"Naka, lo bukan anak kecil yang kalo ditanya bisanya diem aja. Lo Kuncen Kosan, masa lo yang buat masalah. Ayo, jawab."

Naka tidak berniat menjawab sama sekali. Kalau ia menjelaskan kronologi terjadinya keributan sore tadi, bisa-bisa ia akan terkena ceramah berseri dari Ilham. Demi menjaga harga diri dan segala gengsi di hati, Naka memilih mengunci mulut. Ia malah mengalihkan pandangannya pada pakaian yang tertinggal di jemuran. 

Melihat adiknya yang masih keras kepala, Ilham memilih duduk di bangku kayu dan menunggu hingga Naka menjawab pertanyaannya. "Duduk, Ka."

Laki-laki berambut terikat itu duduk dan mengurai rambutnya. Akibat salah tingkah, ia memainkan ikat rambut dengan memutarnya di telunjuk. 

"Lo beneran nggak mau ngomong? Ya sudah kalo gitu, lo ngomong sama Wisnu aja." Ilham mengeluarkan ponselnya dan membuat sebuah panggilan. 

Tadinya Naka mau drama sekalian. Ia berniat memohon agar Ilham tidak repot mengundang Wisnu ke atas, tetapi tatapan Ilham saja sudah mampu membuatnya tidak membantah. Biasanya, Naka adalah satu-satunya orang yang paling bisa melawan Ilham, ia juga tidak segan berdebat dengan penghuni tertua di indekos itu, tetapi kalau melakukan kesalahan, ia akan pasrah dan menerima segala keputusan dari Ilham. 

Bisa dibilang, Ilham adalah penasehat di indekos. Selain doyan jadi sugar daddy dadakan, pria yang memiliki lesung pipi itu juga suka menjadi penengah jika Naka sudah angkat tangan pada suatu masalah. Ilham adalah tipe Abang yang akan membiarkan adiknya menyelesaikan masalah sendiri dan tidak suka ikut campur secara langsung jika tidak diminta, berbeda dengan Naka yang hobinya suka ikut campur sana-sini. Kalau bisa, ia tahu semua rahasia dan cerita anak-anak di indekos. 

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang