Naka tiba di indekos setelah magrib, tetapi indekos terasa sepi. Hampir semua lampu kamar mati. Terlalu lelah untuk berkeliling, akhirnya Naka hanya mengirim pesan di grup. Ia bertanya, apakah ada yang memiliki printer. Seingat Naka salah satu penghuni lantai dua memiliki printer. Mungkin Iqbal atau Ejak juga punya printer, Naka tidak tahu pasti karena jarang memasuki kamar kedua adiknya itu. Namun, setelah satu jam berlalu tetap tidak ada jawaban. Rasanya Naka ingin mengumpat keras-keras. Kenapa saat ia membutuhkan semua orang, tidak ada satu orang pun yang ada di sisinya?
Jo sedang berada di luar kota untuk melakukan survei lokasi. Meminjam printer sekretariat himpunan, sungguh Naka tidak sanggup. Meminta tolong pada teman seangkatan, rata-rata mereka sudah lulus. Satu-satunya tempat untuk meminta tolong malah mengabaikannya. Entah mengapa semua orang kompak tidak membalas pesannya, bahkan Yoyo adik kesayangannya juga tidak membaca pesan tersebut. Laki-laki berambut terikat itu duduk lama di depan indekos hanya untuk memikirkan jalan pintas selain yang sudah ia pikirkan sebelumnya.
Akhirnya, Naka memutuskan untuk pergi ke tempat servis komputer langganannya. Tanpa banyak basa-basi, Naka langsung duduk. "Bang, gue mau numpang nge-print, bisa nggak lo kasih diskon?"
"Nge-print apaan lo? Lo kira di sini tempat nge-print apa? Ini tempat servis, Ka." Abang servis menggeleng sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Nge-print draft, Bang. Lusa seminar proposal gue."
"Etdah, serius lo?"
Naka melipat kaki kanannya, kaki kirinya mengetuk lantai dengan tempo teratur. "Anah, ya, serius, Bang."
"Awas kalo abis ini lo bilang bercanda!"
Naka menghela napas. "Sumpah, Bang. Mau seminar gue. Nggak percaya amat lo sama gue."
Abang servis langsung tersenyum. "Kalo beneran buat seminar, lo beli kertas aja, dah. Sisanya gratis."
"Serius, Bang?" Mata Naka berbinar, memancarkan terima kasih yang tidak terhingga.
"Iya. Lo kan salah satu jalan rezeki gue. Pake, dah, tuh, printer. Tapi pake di sini, ya. Jangan dibawa pulang."
Naka tertawa. "Aguy, Bang. Nggak sampe dibawa pulang juga, geh."
Setelah melakukan kesepakatan, Naka menghabiskan malamnya di sana. Ia kembali ke indekos lewat tengah malam. Naka sudah membeli kertas A3 dalam jumlah banyak untuk menggambar. Ia juga sudah mengeluarkan semua alat gambarnya dari lemari. Rencananya, besok ia akan mulai menggambar setelah selesai mengurusi administrasi di kampus.
Ketika bersiap tidur, Naka kesulitan membuka baju karena tangan kanannya terluka. Begitu tiba di tempat tidur, bukan hanya tangannya mulai terasa nyeri, kini seluruh badannya juga terasa sakit.
Ayo, tidur, dong. Besok harinya bakal kerasa panjang banget.
Entah karena terlalu lelah atau karena baru kecelakaan, Naka merasa tubuhnya lebih berat dari biasanya. Namun, ia tetap bangun pagi-pagi sekali, mengantar Bu Endang ke pasar dan langsung mandi setelahnya. Belum juga jam enam, laki-laki berambut setengah kering itu sudah bersiap berangkat ke kampus tanpa membangunkan Wisnu atau Ilham. Ia tidak menghampiri keduanya karena sudah melihat lampu kamar yang menyala.
Naka datang pagi demi mempermudah hidupnya. Ia sudah dapat bocoran dari Jo kalau petugas loket baru di jurusannya rajin berangkat pagi, tetapi akan menghilang jika sudah di atas jam sepuluh. Benar saja, petugas loket tersebut sudah tiba pukul tujuh kurang dan segera membuka loketnya.
Naka meletakkan map dan setumpuk drafnya di loket, kemudian ia tersenyum ramah. "Selamat pagi, Bu. Saya Nayaka dari Arsitektur 2019, izin meletakkan dokumen dan proposal, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuncen Kosan
General FictionMau diantar jemput, tapi nggak punya ayang? Mau diantar makan siang waktu istirahat? Mau diangkatin galon ke lantai atas? Mau perbaiki saluran air, listrik, kipas angin, AC, mesin cuci? Tidak perlu gundah ataupun risau. Semua masalah Anda bisa seles...