12. Tumbang

98 11 10
                                    

Empat tahun waktu yang dihabiskan Naka di indekos membuatnya merasakan kedekatan emosional dengan Bu Endang. Terkadang, wanita itu bisa cukup menyebalkan jika sudah membahas soal uang bulanan, tetapi Bu Endang juga sering menjadi malaikat tak bersayap yang selalu menolongnya. Mungkin bukan hanya Naka, seluruh penghuni indekos pasti merasakan hal yang sama. Namun, entah mengapa, ia merasa Bu Endang memperlakukannya lebih spesial, hal itu yang membuat Naka tidak berani menyukai Ayu secara terang-terangan.

Bu Endang berhasil menumbuhkan rasa percaya, tetapi Naka merasa kalau dirinya belum bisa dipercaya. Bu Endang bisa menjadi tempat Naka bersandar karena merasa aman. Namun, ia tidak bisa membuat Ayu aman bersamanya. Boro-boro mau bertanggung jawab pada Ayu, mengurus dirinya sendiri saja, Naka sudah kewalahan.

Kalau saja Naka tidak doyan nunggak bayar indekos, ia pasti sudah mencintai Ayu dengan ugal-ugalan. Sialnya, ia masih hobi nunggak. Malahan akhir-akhir ini Naka lumayan pening karena masalahnya datang dengan metode borongan.

"Mas Naka."

Naka tertawa kecil, merasa dirinya mulai gila karena mendengar suara anak semata wayang Bu Endang.

"Mas Naka."

Kepala Naka pening, ia semakin yakin kalau suara yang ia dengar hanya dari kepalanya. Mungkin efek semalam baru dipeluk Ayu.

Tidak lama setelah itu, Naka tidak lagi mendengar suara yang memanggilnya. Perlahan, kesadaran laki-laki berkaus hitam itu menurun. 

Setelah tersedot ke dunia mimpi, Naka melihat dirinya sendiri dalam versi mini. Usianya mungkin sekitar 7 tahun, masih mengenakan seragam SD. Ia melihat dari balik pagar sekolah, anak-anak lain yang dijemput setelah menjalani hari yang berat. Ada yang dijemput dengan sepeda, motor, bahkan mobil, tetapi Naka lebih iri pada temannya yang dijemput dengan berjalan kaki karena tangan mereka akan terus tertaut dengan orang tuanya. 

Naka harus puas dengan berjalan kaki sendirian karena Datuk sibuk mencari nafkah. 

"Kenapa aku nggak punya Mama?"

Pertanyaan itu sering Naka tanyakan pada Datuk, tetapi kakeknya selalu menjawab kalau Mama sudah tiada. Naka tidak bertanya soal Ayah karena ia sempat tahu bagaimana rupa ayahnya. 

"Mama nggak sayang, ya, sama Nayaka?"

Jika sudah begitu, maka Datuk pasti bercerita kalau Mama sangat menyanyangi Naka, tetapi ia memang harus pergi karena sudah saatnya pergi. 

Setelah cukup mengerti, Naka tidak lagi bertanya tentang Mama. Setiap pertanyaan tentang wanita itu muncul di kepalanya, ia akan menahan rasa ingin tahunya sendirian. Bertanya pada Datuk hanya akan menghasilkan jawaban yang sama.

"Kenapa cuma aku yang nggak punya Mama?"

Tanpa permisi, suara yang familier menjawab pertanyaan itu dengan lantang. "Anak itu sudah mati."

Naka terbangun dengan napas yang tidak teratur. Ia bisa merasa kalau matanya basah karena air mata. Tubuhnya penuh keringat dan kepalanya masih diselimuti sakit yang menusuk. Laki-laki berambut gondrong itu, sempat berusaha bangkit, tetapi usahanya gagal, seolah-olah seluruh tulangnya sudah berubah menjadi jeli, Naka tidak sanggup menegakkan badan. Yang bisa ia lakukan hanya berbaring di tempat tidurnya. 

Naka tidak tahu ini jam berapa, yang jelas ia sudah kelaparan. Tubuhnya semakin lemas. Untuk meraih ponsel yang ada di meja belajarnya saja, Naka tidak sanggup.

"Mas Naka." 

Suara itu kembali terdengar. Jelas itu suara Ayu. Naka yakin kalau itu bukan halusinasinya setelah melihat bayangan yang ada di depan pintu. Naka memaksa untuk bergerak, tetapi tubuhnya tetap tertahan di sana seolah-olah ada magnet besar yang menariknya agar tetap di atas tempat tidur. 

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang