Hari baru dimulai ketika Naka terbangun karena suara dari alarmnya sendiri. Ia menggeliat, meregangkan tubuh dan langsung duduk dengan gerakan cepat. Ia menyibak rambut yang agak panjang dan mengikat setengahnya hingga membentuk ponytail. Begitu selesai mengikat rambut, ia langsung ke kamar mandi untuk sekadar mencuci muka dan menyikat gigi.
Hampir setiap hari, pelanggan ojek pertamanya adalah Bu Endang. Iya, pemilik indekos yang sudah ditempati Naka selama empat tahun lamanya. Sebenarnya, ia tidak hanya ingin menjadi tukang ojeknya Bu Endang, kalau bisa, sih, jadi menantunya sekalian. Namun, sebagai mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung lulus plus jadi salah satu penghuni yang doyan menunda bayaran, boro-boro mau daftar jadi menantu Bu Endang, masih diizinkan tinggal di indekos ini saja, ia merasa harus sering sujud syukur.
Naka mengeluarkan motornya dengan gerakan hati-hati, ia tidak ingin mengganggu penghuni lainnya yang pasti masih menjelajah alam mimpi. Apalagi ia tahu kalau Ilham pulang terlambat karena satu-satunya penghuni yang lebih tua darinya itu memarkir motor paling dekat dengan pintu.
Pintu indekos kembali ditutup tanpa gembok. Lagipula kini sudah mendekati waktu salat subuh, akan ada banyak orang yang berlalu-lalang di area itu. Naka mendorong motornya ke seberang hanya untuk mendapati Bu Endang yang sudah menatapnya curiga.
"Kenapa di dorong? Jamilah mogok?"
Naka cengar-cengir. "Akhirnya dipanggil pake nama juga ini motor kesayangan. Takut ganggu yang lain, geh, Bu. Anak-anak belum ada yang bangun."
Wanita paruh baya berhijab langsungan itu lantas tersenyum, kemudian menepuk punggung Naka tanpa peringatan. "Helmnya mana? Kamu keluar ngendap-ngendap udah kayak maling, malah lupa bawa helm, kan, kudu masuk lagi ambil helm."
"Anah, iya." Naka memegang kepalanya yang belum menggunakan helm, kemudian ia memarkirkan motornya dan berlari ke seberang.
Naka membuka gerbang dengan hati-hati untuk mencegah suara berdecit yang biasa keluar setiap pintu itu dibuka. Ia berlari untuk mengambil dua helm yang ada di rak ruang tamu. Kemudian, ia kembali menutup pintu dengan perlahan.
"Sudah siap, Bos?" Naka bertanya setelah merasa kalau Bu Endang memperbaiki posisi duduknya.
"Bos, bos. Malu Ibu kalo ada yang denger." Satu pukulan kembali mendarat di punggung Naka, kali ini tidak sekuat sebelumnya.
Naka tertawa kecil. "Emang bos, geh, Bu. Bagi tukang ojek, penumpang itu bosnya."
Bu Endang mengusap punggung Naka, sambil berkata, "Bukan bos, tapi yang pakai jasa. Kerja kayak kamu ini, enak, lho. Nggak punya bos. Bisa bebas kapan aja kerjanya."
Ada hangat yang mengalir di hati Naka. Ia bisa merasakan ketulusan dari kalimat yang terlontar dari mulut induk semangnya itu. Bu Endang memang memperlakukan semua anak di indekos, layaknya anak sendiri. Bahkan, anak-anak di indekos suka ngaku-ngaku sebagai anak asuh Bu Endang. Bagaimana tidak, hampir setiap hari, Bu Endang rela pergi ke pasar subuh-subuh, hanya untuk membuat sarapan untuk anak-anak di indekos.
Setelah mengantar Bu Endang ke pasar, kegiatan rutin Naka adalah mengirim pesan ke grup. Barangkali ada yang butuh bantuannya untuk mengantar sekolah atau kerja. Laki-laki yang mengenakan jaket ojek itu sengaja membuka pintu kamar dan duduk di depan pintu hanya untuk memastikan kalau adik-adiknya sudah mulai berkegiatan. Ia bisa memantau semua kamar dari posisi kamarnya yang ada di dekat pintu masuk.
Hampir semua lampu kamar sudah menyala, kecuali kamar Iqbal yang memang doyan gelap-gelapan. Satu pesan masuk di grup kosan, membuat Naka semringah. Hari ini, Yoyo yang merupakan penghuni termuda, meminta diantar. Sepertinya, laki-laki yang sudah ia anggap adik itu masih tidak enak badan. Kemarin, Naka menjemputnya di sekolah, jauh sebelum waktu pulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuncen Kosan
General FictionMau diantar jemput, tapi nggak punya ayang? Mau diantar makan siang waktu istirahat? Mau diangkatin galon ke lantai atas? Mau perbaiki saluran air, listrik, kipas angin, AC, mesin cuci? Tidak perlu gundah ataupun risau. Semua masalah Anda bisa seles...