7. Sengketa

49 14 8
                                    

Rutinitas pagi Naka tidak berubah, ia tetap bangun subuh, mengantar Bu Endang -pelanggan pertama sekaligus agak tersayangnya. Tolong jangan ditanya, jelas pelanggan tersayangnya hanya Wisnu seorang. Kalo Ayu, bukan pelanggan, ya, dia pemilik hati. Bu Endang selalu membayar jasa ojek Naka dengan uang pas. Selalu. Paling mentok, Naka dibuatkan sarapan.

Kalau dihitung-hitung, biaya antar jemput Wisnu serupa harganya dengan bayaran indekos satu bulan. Soalnya Wisnu doyan memberi uang lebih. Kemarin saja, Naka dapat rezeki nomplok setelah sahabatnya itu memberi selembar uang lima puluh ribu dan tidak meminta kembalian. Pria yang masih denial mengakui Naka sebagai sahabat itu seolah tidak kenal dengan kata akhir bulan. Uangnya selalu ada. Tadinya, Naka pikir Wisnu adalah anak sultan yang sedang mencari pengalaman menjadi rakyat jelata. Namun, pikirannya itu langsung buyar seketika begitu tahu kalau Wisnu kadang memasak demi berhemat.

Hanya dari suara aktivitas di dapur yang cukup tenang, Naka sudah tahu kalau Wisnu pasti tengah menyiapkan sarapan. Selain irit bicara pada orang lain, pergerakan Wisnu juga selalu rapi dan tidak menimbulkan keributan. Selesai mandi, Naka langsung belok ke arah dapur kerena mencium aroma sedap yang menyeruak.

Naka bernyanyi sambil mengeringkan rambut. Ia sudah hapal hampir semua lagu JKT48 akibat terlalu sering mendengarnya dari kamar Iqbal. Pria berambut agak gondong itu hampir mengumpat begitu mendapati Wisnu yang tiba-tiba menoleh dan menatapnya dengan tatapan menyebalkan. Mirip adegan di film horor.

"Ngapain lo, Sat! Bikin gue jantungan!"

Mata Wisnu sudah menyipit. Ia menatap Naka sengit, lalu kembali fokus pada tempe yang baru dibalik seolah-olah Naka tidak ada di belakangnya.

"Lah, baru berapa hari abis wisuda, udah miskin aja lo?" Naka duduk di kursi yang sebelumnya berada di bawah meja. Ia menaikkan satu kaki dan tanpa tahu diri, meraih tempe goreng yang baru diangkat Wisnu.

Belum juga tangan Naka sampai, pria berpipi tembam yang membelakanginya itu memukul dan bedecak setelahnya. "Belum selesai. Jangan dimakan dulu."

Naka meringis, kemudian memasang wajah dengki. Emosinya sudah mulai naik. "Anah, wah, kalo nggak boleh dimakan, kenapa ditaro depan muka gue!"

Wisnu masih memegang sutil ketika ia berkacak pinggang. "Daripada lo cuma duduk nggak tahu diri kayak gitu, mending buat kopi! Lagian siapa juga yang mau masakin lo?"

"Lah, emang siapa yang bilang lo masakin gue? Gue cuma ambil jatah aja. Lagian lo masak banyak gitu, nggak bakal abis." Naka merepet, tetapi ia tetap bergerak mengambil dua gelas dan membuat kopi di samping Wisnu.

"Lo berdua bikin gue nostalgia, Bang."

Naka dan Wisnu kompak menoleh hanya untuk mendapati Nanang yang tengah menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. Keduanya langsung mengerutkan dahi.

"Makasih udah ingetin gue sama gambaran keluarga, tuh, gimana." Nanang mulai mellow.

Wisnu menatap Naka dengan tatapan penuh tanya. Merasa dituntut untuk bicara, akhirnya pria berambut agak gondrong itu bicara. "Keluarga gimana maksud lo?"

"Gue keinget masa-masa ortu gue masih bareng. Kalian jangan berantem kayak kemaren lagi, ya, Bang. Gue nggak sanggup kalo kehilangan orang tua lagi." Setelah selesai dengan kalimatnya, Nanang langsung menghambur ke kamar dengan mata yang sudah banjir.

"Anjir, kerasukan apa, ya?" Wisnu bertanya setengah melongo.

Naka mengangguk cepat. "Kayaknya belom tidur, tuh, bocah."

Wisnu menyelesaikan masakannya. Ia mengambil dua piring dan memberikan salah satunya pada Naka.

"Dih, kayak gitu tadi bilangnya, emang gue masakin lo?"

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang