Mau tahu bagian paling sepi yang ada di indekos Bu Endang? Jelas kamar paling ujung, nomor sembilan dan sepuluh yang dihuni oleh dua orang introvert parah. Sudahlah introvert, dua-duanya juga penghuni bangkotan, sama seperti Naka. Sepinya kamar kosong indekos, bisa kalah saing sama kesunyian dua kamar itu. Kadang Naka sampai harus memeriksa keberadaan keduanya, soalnya ia takut kalau salah satu dari mereka tiba-tiba tidak membuka pintu lagi keesokan harinya.
Untungnya, tadi Naka sempat memeriksa Wisnu yang lagi galau-galaunya karena wisuda tanpa orang tua. Kalau saja laki-laki berpipi tembam itu tidak memasang wajah memelas, pasti Naka sudah bersumpah serapah karena Wisnu sudah meninggalkannya dengan wisuda lebih dulu. Setelah keluar dari kamar nomor sembilan, ia sempat mengetuk kamar di sebelah untuk memastikan kalau satu-satunya penghuni lebih tua darinya itu sudah bangun. Ilham tidak boleh terlambat kerja hanya karena tidak ada yang membangunkan. Setelah ada sahutan, Naka berbalik dan segera pergi dari sana.
Naka sudah mandi dan mengganti pakaian tidurnya dengan kemeja biru dan celana panjang, jaket ojeknya sudah digantikan oleh jaket denim. Rambut panjangnya sudah disisir rapi, tidak diikat acak seperti sebelumnya.
"Wah, kemana, nih, Bang? Rapi amat?"
Naka memutar bola matanya malas. Ia masih punya keinginan untuk melempar helm ke wajah Nanang, tetapi ia menahan diri dan mengembuskan napas kasar untuk mencegah umpatan keluar dari mulutnya. "Kampus."
"Pantes rapi. Eh, tapi Bang. Coba itu kemeja jangan dikancingin sampe atas. Kayak kecekek. Muka preman lo nggak pantes sok rapi gitu." Seperti tidak ada takut-takutnya, laki-laki yang tersenyum cerah itu membuka kancing teratas kemeja Naka. "Nah, kan, lo jadi nggak keliatan culun."
Naka menyibak rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa, kemudian ia menatap Nanang kesal.
"Ampun, Bang." Laki-laki bermata sipit itu berniat ngacir, tetapi Naka menahan kausnya, sehingga ia tidak bisa lari ke mana-mana.
Tanpa banyak usaha, Naka berhasil menarik Nanang dan menahan kepala adiknya itu dalam kuncian di lengan.
"Ampun, Bang. Ampun. Mas Ilham, tolong."
Naka tertawa kecil, padahal ia hanya menahan kepala Nanang, tetapi adiknya itu malah bertingkah seolah-olah hampir mati. "Diem dulu, wah, ada yg penting ini."
Nanang batuk dengan dramatis, tetapi ia langsung diam begitu Naka menyentil kepalanya. "Wisnu besok wisuda. Ntar gue buat grup baru yang nggak ada dia. Lo atur bagian heboh-hebohnya, ya. Abis ini gue ke Bu Endang, mau cerita. Biar kita buat acara kecil-kecilan."
"Lah, nggak ganggu acara sama orang tuanya?"
Naka berdecak. "Anah, coba kalo dibilangin abangnya nggak usah banyak tanya. Intinya kita siap-siap buat wisuda Wisnu besok. Jangan sampe dia tahu!"
"Siap, Bang."
Naka melepas kuncian lengannya dan membiarkan Nanang cengar-cengir sambil mengangguk sok paham.
Setelah menyelesaikan urusan dengan Nanang, Naka langsung mengeluarkan motor dan memarkirkan Jamilah di halaman rumah Bu Endang.
"Loh, Naka. Tumben, rapi banget. Mau lamaran, apa gimana?"
Maunya ngelamar anak Ibu. Naka cengar-cengir, kemudian ia mengusap tengkuknya. Salah tingkah. "Enggak, Bu."
"Kenapa? Ada yang mau nunggak kosan lagi?" Nada bicara Bu Endang jadi meninggi.
Bukannya takut, senyum Naka malah tambah lebar. Ia masuk ke rumah Bu Endang dan memandu wanita pemilik rumah itu untuk duduk. "Jadi, gini, Bu."
"Aduh, kamu kalo kayak gini, biasanya mau nego sewa, kan? Siapa lagi yang nitip mau nunggak bayaran?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuncen Kosan
General FictionMau diantar jemput, tapi nggak punya ayang? Mau diantar makan siang waktu istirahat? Mau diangkatin galon ke lantai atas? Mau perbaiki saluran air, listrik, kipas angin, AC, mesin cuci? Tidak perlu gundah ataupun risau. Semua masalah Anda bisa seles...