16. Akhirnya Sempro Juga

55 9 7
                                    

Setelah melalui ketegangan karena kedatangan orang tua Wisnu, barulah Naka bisa berhadapan dengan kertas-kertas yang siap digambar olehnya. Naka tidak sendiri, ada Wisnu di kamarnya. Biasanya, laki-laki berbibir tipis itu doyan cuap-cuap mengomentari gambar atau garis Naka yang tidak presisi, tetapi kini mulutnya terkunci rapat. Tidak ada suara yang terdengar.

Rasa bersalah Naka masih tersisa banyak, apalagi ia menyaksikan langsung saat sahabat yang sudah dianggap seperti saudara kandungnya itu ditampar dengan sangat keras. Beberapa jam sudah berlalu. Semakin lama, keheningan itu semakin menyiksa. Tanpa bertanya, Wisnu langsung menggaris tepi semua kertas yang ada, kemudian ia mengambil alih kertas yang sudah selesai digambar, untuk diwarnai.

Tepat sebelum tengah malam, Naka sempat kehilangan fokus, hingga tidak sengaja, sikunya yang memiliki luka hampir kering malah menabrak ujung meja.

"Bangke!" Naka langsung melihat sikunya. Ia mendapati darah mulai keluar dari luka yang terbuka. "Aguy, kebuka lagi lukanya."

Wisnu langsung bangkit dari duduknya dan bergerak dengan cepat untuk mengambil kapas dan betadine. "Makanya jangan ngelamun!"

"Lo sendiri ngelamun, ya, Sat!" Naka tersulut emosi, sampai hampir lupa pada rasa bersalahnya.

Dengan cekatan, Wisnu menutup luka yang sudah dibersihkan. Ia sengaja menekan plesternya agak keras. Ia tidak menanggapi kata-kata Naka.

"Pake perasaan dikit, geh!"

"Udah tau ceroboh, luka nggak ditutup. Belom aja lo kena semprot Ilham." Wisnu kembali ke tempat duduknya dan mulai mewarnai area yang sudah digambar dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Naka tersenyum tipis. "Gue kira, lo nggak bakal bantuin gue abis kejadian tadi. Sekali lagi, gue minta maaf."

Wisnu tidak menjawab. Ia fokus pada pekerjaan yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawabnya.

"Kopi datang."

Naka mengembuskan napas lega begitu mendengar suara Ilham. Kakak tertua di indekos itu memang sempat mampir dan pamit untuk membeli kopi, Naka sudah menolak, tetapi Ilham tetap memaksa.

"Baru inget waktu beli kopi, coba gue liat dulu luka lo, Ka." Ilham duduk di samping Naka. "Jadi lupa gue karena ketemu orang tua Wisnu."

Naka langsung melotot. Ia menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. Laki-laki yang mengenakan kaus oblong dengan bokser merah itu langsung menggeleng dan berusaha mengalihkan topik. "Beli dimana kopinya? Lama amat lo pergi."

Biasanya Ilham selalu berhati-hati, mungkin ia sudah terlalu lelah. Begitu menyadari kode Naka, ia buru-buru menjawab, "Di daerah sebelah. Minimarket yang biasa udah tutup jam segini."

"Oh, makasih udah ditraktir kopi." Naka menjawab canggung.

Keduanya bertukar tatap untuk berkomunikasi demi menyelamatkan situasi yang sudah telanjur canggung.

"Ini yang mana lagi yang mau dikerjain?" Wisnu bertanya setelah menggulung kertas yang sudah diwarnai.

Naka dan Ilham kompak menoleh.

"Apa yang bisa gue bantu?" Ilham turut bertanya.

Naka melihat dua kertas yang belum diwarnai, tetapi melihat mata Wisnu yang sembab dan kantung mata Ilham yang hitamnya bisa saingan sama arang, ia memilih untuk menolak. "Udah, kok. Makasih, kalian udah banyak bantu."

Wisnu mengerutkan dahi. "Bukannya kalo buat beginian biasanya banyak kertas, ya?"

Mata sipit Naka berusaha tidak teralih. Ia menatap Wisnu sambil mencari alasan yang cukup bagus untuk menghindari sahabatnya yang keras kepala dan doyan protes. "Kan, baru sempro. Konsep kasar doang. Ini gue tinggal rapi-rapi, masukin tabung. Udah."

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang