4. Naka dan Lukanya

85 16 20
                                    

Jamilah sudah terparkir di pangkalan ojek online yang ada di area perkantoran. Motor berwarna merah itu ditemani oleh beberapa motor lain milik ojek online yang sedang menunggu penumpang. Naka sengaja meninggalkan Jamilah untuk melakukan kebiasaannya jika sedang kalut atau merindukan seseorang. Laki-laki berambut agak gondrong itu membiarkan rambutnya terurai, kemudian ia berjalan menuju salah satu gedung yang menjulang tinggi.

Setelah tiba di tempat yang dituju, Naka tidak masuk atau bertanya. Ia malah berbelok dan duduk di area terbuka yang tepat menghadap pintu masuk gedung tersebut. Ia melihat jam di ponselnya dan menghela napas panjang setelahnya. Langit sudah berubah warna dari biru menjadi orange.

Naka duduk dengan kaki terbuka dan jaket ojek yang sudah diikat di pinggang. Ia meletakkan kedua sikunya di lutut dan menatap pintu kantor tersebut dengan tatapan sengit.

Saking seriusnya, laki-laki berbaju batik merah itu tidak menyadari kalau ada orang yang duduk di sampingnya.

"Bang, mau nagih utang, ya?"

Perhatian Naka langsung direbut sepenuhnya. Ia menatap anak berseragam SD yang bertanya padanya. "Lo ngomong sama gue?"

Anak perempuan tersebut berdecak dan menggeleng. "Kata Mama, nggak boleh ngomong gue - lo. Aku memang ngomong sama Abang. Soalnya nggak ada orang lain di sini."

Anak tersebut mungkin sekitar delapan tahun. Naka tidak berniat meladeni anak tersebut, tetapi ia langsung berubah pikiran begitu melihat senyum anak itu. "Kenapa tanya-tanya?"

Anak perempuan itu tertawa kecil. "Abang kayak preman, cuma nggak ada tatonya. Terus, duduknya kayak lagi nungguin orang yang mau ditagih utangnya."

"Lo nggak takut sama gue?" Naka bertanya asal. Ia mengira anak-anak tidak akan menyukainya saat menatap sengit ditambah dengan rambut gondrong yang terurai, tetapi anak ini malah kelihatan penasaran.

"Enggak. Soalnya, kata Mama semua orang itu baik, kalo kita baik."

Naka menyeringai. Ia merasa familier dengan kalimat anak itu. Namun, belum sempat ia membalas kalimat anak tadi, sudut matanya menangkap sosok yang ia nantikan. Tanpa menunggu lama, ia segera menoleh dan mengunci pandangannya pada wanita itu.

Wanita dengan rambut sebahu dan pakaian rapi berjalan menggunakan sepatu hak tinggi. Dengan jarak yang terbilang cukup jauh, ia mengunci pandangannya hingga wanita itu masuk ke dalam mobil yang menjemput. Warna mata wanita itu serupa dengan milik Naka. 

Naka jadi teringat kalau Datuk selalu bilang kalau ia mirip dengan Mama. Ia tidak punya ingatan apapun tentang Mama. Ia tidak tahu dan masih tidak ingin tahu tentang alasan kedua orang tuanya berpisah di saat umurnya masih sangat muda. Ia juga tidak pernah bertanya tentang alasan ia ditinggalkan dengan Datuk. Dulu, seringkali Naka menerka-nerka, seperti apa sosok wanita yang telah melahirkannya. Ia harus puas dengan imajinasi yang ada di kepalanya. 

Jangan ditanya tentang Ayah. Naka sudah muak dengan semua cerita yang ia dengar dari tetangganya. Pria itu tidak pernah memberinya nafkah, jangankan nafkah, kabar juga tidak pernah sampai. Yang tertinggal hanya luka. Kini, Naka sudah tidak ingin tahu keberadaannya. Hidup atau matinya pria itu tidak akan pernah menjadi urusannya. 

Setelah Datuk meninggal, Naka resmi hidup menjadi sebatang kara. Hal itu juga yang membuatnya nekat datang ke Jakarta hanya dengan bermodal foto usang dan sebaris nama, ia berhasil menemukan wanita itu. Wanita yang seharusnya ia panggil dengan sebutan Mama. Wanita yang seharusnya menjadi tempatnya pulang. Namun, ada banyak alasan yang membuatnya harus puas melihat sosok itu dari jarak aman. Setelah melihat wanita itu, ada sesak dan lega yang berkolaborasi memenuhi dadanya. 

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang