6. Keajaiban Datang Bersama Dengan Cobaan

84 16 38
                                    

Setelah menghabiskan kopi dan menyelesaikan perselisihan yang disebabkan oleh hal yang tidak penting-penting amat, Naka dan Wisnu bergerak menuju kamar masing-masing. Namun, keduanya batal belok karena melihat pintu kamar adik bungsu mereka terbuka setengah dan ada sendal Ilham di depan pintunya. Tanpa memberi aba-aba, keduanya kompak menghampiri kamar tersebut.

Naka mengerutkan dahi ketika melihat Ilham terjaga di samping Yoyo yang sudah berbaring di kasurnya.

"Yoyo kenapa, Ham?"

Ilham menghela napas berat dan menjawab dengan suara pelan. "Demam dia. Tadi jatuh, kakinya keseleo, kepalanya kepentok pintu."

Naka menggeleng. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Yoyo demam hanya karena terjatuh, tetapi ia juga tidak begitu paham kalau tentang sakit penyakit. Dulu, ia menurut saja saat Datuk menolak diperiksa kesehatannya. Begitu mengingat penyesalan sebelumnya, ia langsung menyarankan agar Yoyo segera diperiksa. Ia tidak mau sesuatu yang buruk menimpa adik bungsunya. Untungnya, Ilham sudah lebih dulu menyarankan hal serupa.

Tadinya Naka berniat untuk langsung tidur setelah memeriksa Yoyo, tetapi ia mengurungkan niat setelah melihat kantung mata milik Ilham. Wisnu juga tidak mungkin menjaga Yoyo karena ia baru menjadi pusat perhatian seharian penuh. Kedua orang itu butuh istirahat. Akhirnya, Naka mengusir keduanya dengan paksa.

Pria berambut terikat itu mengurai rambutnya dan melipat jaketnya sedemikian rupa sehingga menjadi bantal. Sungguh dramatis, padahal bisa saja ia mengambil bantal ke kamarnya, tetapi ia terlalu lelah. Ia juga tidak mau mengganggu tidur Yoyo dengan mengambil salah satu bantal yang ada di atas kasur. Akhirnya, ia berbaring dan menatap langit-langit sambil memikirkan banyak hal.

Setelah cukup puas berbaring, Naka mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia mencari beberapa referensi dan membacanya, tidak lupa sesekali ia membuka draft seminar proposal yang sudah ia buat sebelum laptopnya mati. Meski disibukkan dengan ngojek dan pekerjaan sampingan lain, ia masih harus memikirkan cara agar bisa segera lulus.

Mata sipit Naka sudah nyeri. Rasa berdenyut di kepalanya sudah mulai mengganggu. Sebenarnya ia tahu kalau hal itu disebabkan oleh kelelahan, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk terjaga. Setelah tersiksa dan berjuang menahan mata agar tetap terjaga, akhirnya azan subuh sudah berkumandang.

Naka meregangkan tubuhnya yang sakit seolah-olah habis dipukuli satu kampung. Suara langkah seseorang yang sangat ia kenali terdengar mendekat. Ia hampir berseru senang saat mendengar suara Ilham.

"Gantian, Ka. Lo tidur dulu bentar. Bu Endang ke pasar naik ojek lain dulu. Tadi gue udah bilang."

Naka cengar-cengir, seperti setengah sadar. Hal itu membuat Ilham tertawa kecil. Lesung pipinya jadi terlihat jelas. Pria yang masih mengenakan sarung itu menepuk pundak Naka dan mendorongnya keluar. Persis seperti apa yang dilakukan Naka tadi malam.

"Lo udah kayak zombi. Istirahat dulu. Baru nanti narik."

Rambut berantakan tidak menghalangi Naka untuk memelotot. "Eh, bentar. Yoyo jadi periksa, kan? Mau lo apa gue yang anter?"

"Gue aja, nggak apa-apa. Ntar gue izin. Lo narik aja." Ilham tersenyum. Kadang Naka bertanya-tanya, apakah senyum tulus itu hasil dari kekuatan atau malah sebuah ilusi untuk menutupi kerapuhan? Entah mengapa, ada hal-hal yang membuat Naka merasa cukup bergantung pada Ilham. Hal itu juga berlaku bagi semua anak indekos Bu Endang.

"Yakin? Kerjaan lo nggak apa-apa?"

Ilham tersenyum lagi. "Udah. Lo mau lanjut debat sama gue, apa mau tidur?"

Naka berdecak. "Yaudah, ntar gue anter surat izin ke sekolah Yoyo."

"Anter surat aja, apa anter Ayu sekalian?" Mata Ilham menyipit.

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang