10. Bang Panji

60 14 29
                                    

Matahari belum terbit ketika Naka bangun. Ia langsung beranjak ke kamar mandi dan segera mengenakan pakaian keramat, yaitu baju batik dan celana dasar. Satu setel pakaian itu sudah tenggelam di lemari karena dipakai hanya beberapa kali dalam setahun. Rambut Naka yang biasanya diikat asal, terpaksa harus disisir rapi, untung ia sudah minta pomade Ilham semalam. Setelah selesai, Naka hampir tertawa melihat bayangannya sendiri. Ia sudah mirip paspampres karena baju batik miliknya sangat pas di badan.

Tadinya Naka ingin membangunkan Wisnu, tetapi setelah melihat jam, ia batal mengetuk pintu nomor sembilan dan malah bergeser ke depan pintu nomor sepuluh. Tidak butuh banyak ketukan hingga Ilham keluar dari kamarnya. Pria berlesung pipi itu tengah mengenakan sarung dan sajadahnya masih terbentang di lantai.

"Mau balikin pomade." Naka cengar-cengir karena Ilham kelihatan terkejut.

Ilham mengerjap dan melihat Naka dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Nayaka, nggak kesambet, kan?"

Naka memutar bola matanya malas. Ia berdecak, kemudian melipat tangan di dada. "Aguy, mana ada orang kesambet jadi ganteng, Ham?"

Ilham tertawa. Tawanya pelan, tetapi sangat sarat kebanggan. "Gue sempet pangling, kirain pejabat yang dateng ke kamar gue."

Naka tersipu. "Anah, kalo mau muji jangan ketinggian, geh."

"Pak RT ngapain pagi-pagi ke sini?" Nanang yang nyawanya masih setengah, bertanya sambil mengucek mata.

Naka langsung melotot. Ia menatap Nanang dengan tatapan siap menerkam.

"Lah, Bang Naka. Tumben, kayak mau kondangan. Apa jangan-jangan mau lamaran? Astaga, Bang, istigfar. Lulus dulu baru kawin."

Ilham bersandar di pintu dan tersenyum geli mendengar dugaan Nanang.

"Lo emang, ya! Sini nggak, lo!" Naka sudah tersulut emosi, tetapi belum juga ia melangkah, pintu kamar Nanang sudah tertutup.

"Ampun, Bang. Jangan ngamuk. Masih pagi." Nanang berseru lewat jendela yang baru ia buka.

"Kalo gue nggak buru-buru, gue ajak ribut beneran lo!"

Ilham masih mempertahankan posisinya. "Udah, Ka. Nggak ada Wisnu, lo mau ribut sama Nanang?"

"Wisnu ada, cuma lagi kebo kayaknya. Semalem aja gue ajak ngopi nggak mau. Dih, lagi sok jual mahal emang." Naka menggeleng.

"Lo mau curhat apa mau berangkat?"

"Anah, iya. Gue bisa telat ini." Naka buru-buru mengenakan jaket yang sebelumnya menggantung di bahunya.

Setelah selesai mengenakan jaket, tanpa terduga, Ilham mencengkram kedua lengan Naka dan menatapnya dengan serius. "Nggak usah gugup, kalo gugup, lo bakal susah fokus."

Naka hanya bisa melongo. Ia tahu kalau Ilham memang sangat perhatian, tetapi kadang kata-katanya bisa jadi mengerikan. Kata-kata penghuni tertua di indekos itu serupa perkataan orang tua, seperti cenayang. Terakhir kali, Ilham tiba-tiba meminta Naka tidak narik ojek dengan alasan masih hujan. Namun, Naka tetap pergi, ujung-ujungnya ia malah tidak bisa ngojek seharian karena Jamilah mogok.

"Gue nggak tahu apa yang bakal lo hadapi, tapi satu yang gue tahu, lo pasti bisa lewatin semuanya. Lo Naka, Kuncen Kosan Bu Endang."

Tanpa sadar Naka mengangguk. Meminta pomade memang hanya alasannya belaka. Ia benar-benar butuh dorongan semangat dari Ilham. Bukan karena Wisnu tidak bisa memberikan hal serupa, hanya saja, ia butuh dorongan yang normal tanpa hujatan atau ujaran kebencian. Soalnya mulut Wisnu suka kebanyakan cabe. Naka curiga kalau Ilham betulan cenayang karena ia merasa tidak menceritakan apapun, tetapi pria berlesung pipi itu bisa memberinya nasihat yang tepat sasaran.

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang