9. Seminar Bikin Ambyar

52 15 22
                                    

Mau tahu hal yang lebih Naka kesal bukan main? Bukan karena tidak ada teman yang bisa diajak bicara, bukan karena tidak ada orderan, bukan juga karena Ayu yang tidak membalas pesannya. Meski ketiga hal itu bisa membuatnya spaning, ada satu hal yang tidak ia duga bisa membuatnya kesal sampai ingin mengobrak-abrik seisi dunia. 

Satu panggilan dari Ilham membuat Naka yang baru berniat narik ojek, langsung lemas seketika. Naka memang selalu jantungan kalau mendapat pesan atau telepon dari Ilham, tetapi yang satu ini benar-benar hampir membuatnya semaput. Anggota indekos tertua yang biasanya bersuara setenang air dalam ember, kini bicara dengan suara bergetar dan diiringi isak tertahan. Ia memberitahu kalau anggota termuda di indekos itu menderita penyakit serius.

Setelah panggilan berakhir, tanpa basa-basi, Naka langsung menaikan ritsleting jaket ojeknya dan meluncur bersama Jamillah dengan kecepatan penuh. Ia mengerahkan semua kemampuannya untuk tarik gas dan menyalip dengan epik. Tanpa butuh waktu lama, ia tiba di rumah sakit. Namun, ia tidak sanggup masuk. Naka malah terdiam di atas motornya sambil menahan air mata. 

Naka masih melamun ketika beberapa pesan kejar-kejaran masuk ke ponselnya. Ia melihat ponsel sekilas. Setelah tahu kalau pesan beruntun tersebut berasal dari grup panitia acara seminar prodi, pria berambut gondrong terurai itu langsung mematikan ponsel.

"Bisa gila gue kalo begini terus." Naka mengacak rambutnya dan menatap langit. Matahari sedang terik-teriknya, sehingga ia buru-buru berteduh sambil mengumpulkan niat untuk bertemu adiknya.

Naka sempat membeli beberapa es krim sebelum menghampiri Ilham dan Yoyo. Ia menghela napas berkali-kali setelah melihat adiknya lebih dulu. "Mau, yo?"

"Tau aja, Bang, apa yang gue mau." 

Melihat senyum Yoyo, ada sedih yang menjalar di hati Naka. Ia tiba-tiba lupa soal seminar. Ia juga sudah lupa kalau seluruh uang yang ada di dompetnya sudah berubah bentuk jadi es krim satu kantong kresek.

"Gue cuma makan es krim, Bang. Belom mau mati. Santai aja." 

Selama kenal Yoyo, baru kali ini Naka ingin menoyor adik bungsunya itu. Kalau pada Nanang, tanpa ada sebab pun Naka bisa menoyor sesuka hati, tetapi ia punya sisi lembut tersendiri pada penghuni termuda di indekos itu. Akhirnya, Naka hanya bicara, tanpa menoyor. "Mulut lo, Yo!"

Tidak lama setelah itu, Ilham muncul dengan mata sembab dan muka yang acak-acakan. Kalau saja situasinya tidak genting, Naka pasti sudah mengabadikan muka superkucel Ilham buat jadi bahan ledekan sepanjang tahun. Kalau tidak bisa jadi bahan ledekan, minimal ia bisa pamer pada Wisnu. 

Setelah bicara cukup serius, Yoyo langsung berniat pergi ke kafe. Sesuai dugaan, Naka yang ditunjuk untuk mengantarnya ke sana. Tentu tanpa tatapan tajam Ilham, ia juga sudah berniat mengantar Yoyo. 

Setelah menurunkan adik bungsunya di kafe, barulah Naka kembali memeriksa ponselnya. Matanya kontan membelalak ketika melihat seribu pesan yang ada di grup. Tanpa perlu pikir panjang, ia langsung menelepon Jo dari pinggir jalan.

"Halo, grup kenapa rame banget?" Naka langsung to the point soalnya baru hari ini ia tidak datang ke kampus.

Jo sempat terdiam, kemudian ia menghela napas. "Lo kemana aja, sih, Ka? Anak-anak udah heboh banget di grup. Udah puluhan kali lo di-tag, tapi lo nggak muncul-muncul."

Naka memutar bola matanya malas. "Gue ada urusan."

"Di sini lagi keos banget. Urusan apa, sih? Urusan lo lebih penting daripada kuliah?"

Naka tidak bisa menahan emosinya. "Adek gue sakit, Bangsat! Dia lebih penting daripada seminar itu."

Setelah mengumpat pakai urat, Naka tidak mendengar jawab dari Jo. Ia menghela napas berkali-kali sebelum lanjut bicara. "Lo tahu gue gimana, kan? Sekarang jelasin masalahnya."

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang