13. Setelah Tumbang

84 9 4
                                    

Sehari setelah tumbang, Naka langsung nekat narik ojek. Ia tahu kemampuan tubuhnya. Meriang sehari tidak akan membuatnya diam. Semakin lama ia berbaring di kasur, maka sakit di seluruh badannya akan semakin parah. Kebutuhannya juga sedang tidak bisa dikontrol. Uang bayaran indekos sudah aman karena dibagi dua dengan Wisnu, tetapi uang kuliahnya masih jauh dari kata aman. Setelah mengantar Bu Endang ke pasar, Naka tidak mampir untuk sarapan, tetapi ia langsung bergerak untuk mengais rezeki. Beruntung, perutnya sudah diganjal sereal cokelat instan pemberian Wisnu. 

Naka kelewat semangat hingga ia tidak sadar kalau penumpangnya sudah mencapai lima belas orang hanya dalam waktu setengah hari. Laki-laki berambut gondrong itu berulang kali mengucap syukur, setidaknya ia bisa menambah sedikit tabungan uang kuliahnya. Tidak bisa dikatakan tabungan juga karena uang itu sudah pasti leyap dalam hitungan hari. 

Tanpa sengaja Naka akan melewati pangkalan ojek yang dekat dengan Belva Tower, berhubung sudah hampir jam makan siang, ia sekalian mampir. Belum juga pria berjaket Kuy Ojek! itu parkir, namanya sudah diserukan oleh salah satu rekannya.

"Sabar, geh, Bang. Udah kangen banget apa?" Naka tertawa sambil mengikat ulang rambutnya.

"Panji dari sini kemaren. Dia cerita katanya lo kuliah." Salah satu rekan Naka yang bertubuh tambun langsung menepuk pundak Naka.

"Iya, mana katanya jadi panitia acara segede gaban."

Naka hanya bisa cengar-cengir. 

"Kuliahnya kayak Panji? Betulan? Yang bangun-bangun gedung, gitu?" 

Antusias dari rekan-rekannya membuat Naka salah tingkah. Ia langsung duduk bersila di pangkalan. "Iya, Bang. Kuliah gue." Bahu yang sebelumnya tegak, menciut perlahan. "Cuma, ya, gitu. Nggak lulus-lulus."

Seorang rekan yang terlihat paling sepuh, menyentuh pundak Naka dan membuatnya mendongak. "Proses orang beda-beda, Ka. Waktunya juga beda-beda. Waktumu pasti bakal datang. Sabar, tapi harus tetep usaha."

"Betul itu. Emang kenapa kalo nggak lulus-lulus? Lagian lo kuliah sambil kerja gini."

"Iya, nggak semua anak muda sanggup buat kerja sambil kuliah. Lo hebat, sih, Ka. Bangga gue punya temen kayak lo."

Naka yang biasanya akan tertawa geli ketika diledek, tiba-tiba merasakan panas di matanya. Ia tidak pernah mendengar seseorang menyebutkan namanya dengan bangga. Entah karena kejadian beberapa hari lalu atau memang karena kondisinya yang tidak baik-baik saja, Naka merasa dirinya lebih mudah menangis akhir-akhir ini. 

"Adek bontot kita udah gede, ya. Ternyata selama ini Naka kerja sambil kuliah. Kirain kerjanya cuma haha hihi sambil nongkrong nunggu cewek doang di mari." Satu tepukan kembali mendarat di punggung Naka.

"Lah. Iya. Kirain ini anak udah bakal kawin aja. Eh, taunya kuliah. Pantes kalo ngobrol sama Panji serius bener. Taunya, sama-sama arsitek."

Naka tertawa pelan. "Anah, kirain mau ngatain sama-sama gila, Bang."

Salah satu rekan Naka yang sebelumnya hanya diam, tiba-tiba beranjak dari sana. "Oke, untuk nyemangatin adek kita yang kayaknya lagi lemes banget. Gue traktir starbucks."

Semua orang yang ada di sana langsung melongo. Bukan karena niat baik rekan mereka, bukan juga karena jenis traktiran kopi yang umum dilakukan, tetapi karena merek yang disebutkan adalah merek kopi mahal yang mungkin tidak pernah dicicipi oleh sebagian dari mereka. 

"Tapi versi BPJS. Ada noh, di ujung ono. Gocengan. Tapi logonya kayak kopi yang mahal itu." Pelaku yang membuat keheningan itu menutup kalimatnya dengan cengar-cengir.

Kontan semua tertawa, termasuk Naka. 

"Kemaren Panji nitip traktiran, katanya kalo Naka kemari, pake dah buat makan-makan." Pria yang mengenakan jaket serupa dengan Naka itu mengeluarkan uang seratus ribuan dua lembar. 

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang