8. Tikungan Tajam

68 16 72
                                    

Membangunkan Wisnu adalah kegiatan rutin yang serupa jam biologis bagi Naka. Setelah matahari muncul, tubuhnya akan otomatis bergerak dan menggedor pintu nomor sembilan. Biasanya ia menggedor pintu itu sambil mengenakan pakaian tidur atau kaos alakadarnya yang dilapisi jaket, tetapi hari ini ia sudah siap memulai hari dengan pakaian yang menurutnya keren abis.

Naka mengenakan kemeja hitam dan celana jeans biru tua. Lengan bajunya digulung hingga siku. Rambutnya juga sudah diikat dengan rapi. Tidak lupa dua kancing teratas kemejanya telah dibuka, diam-diam ia menerima saran Nanang yang pernah mengatainya seperti tercekik karena mengancing kemeja hingga leher.

"Kenapa?" Wisnu membuka pintu sambil meregangkan tubuh. Nada bicaranya tidak segalak biasanya.

"Lo tidur di jam bayi, ya? Tumben jinak."

"Sialan!" Wisnu memutar bola matanya malas ketika Naka melenggang masuk dan mengambil makanan ringan dari atas meja. "Mau ngelayat? Suram amat baju lo?"

Naka langsung berdecak. "Lo bisa bonyok dikeroyok anak Teknik cuma gara-gara ngatain gue kayak mau ngelayat."

"Siap, Bang. Teknik jaya." Wisnu menjawab dengan sarkas. Helaan napasnya membuat Naka tertawa. "Nggak ngojek?"

"Ngojek, dong. Nggak ngojek, nggak makan gue." Naka bicara sambil sibuk mengunyah cemilan. "Ngomong-ngomong, nih, ya, lo tahu Nanang cabut ke mana nggak? Izin sama gue bilangnya nggak balik doang."

"Lo yang kuncen kosan aja nggak tahu, apalagi gue. Lagian, ya, bukannya Nanang paling deket sama lo? Harusnya gue yang nanya, ke mana, tuh, bocah? Udah anak semester akhir kerjanya keluyuran terus."

Naka berhenti mengunyah. "Kalo mau ngatain gue, nggak usah sok bawa-bawa Nanang, geh, Sat!"

"Lah, tumben sadar. Gimana urusan skripsi lo?"

"Anah, beneran bangsat! Ini masih pagi, kepala gue udah banyak pikiran, malah ditambahin." Laki-laki berambut terikat itu sampai harus memejamkan mata untuk menahan segala emosi yang berkecambuk di dadanya. Ia menghela napas berat setelah mendapati kalau Wisnu tidak berkomentar setelahnya. "Ngeles, geh, kok, diem?"

Laki-laki berpipi tembam itu hanya tersenyum tipis. "Ntar lo ngamuk kalo gue terusin."

"Apa terusannya, wah?"

"Nggak apa-apa."

"Dih, bilang aja penasaran. Gue lagi mau jual diri ini, biar penguji gue nggak jegal gue lagi."

Wisnu kembali naik ke kasurnya dan menarik selimut.

"Kok, nggak nanya gue jual dirinya gimana? Heh! Wisnu, lo nggak penasaran gitu, gue ngapain?"

"Halah, paling lo mau bantuin kerjaan beliau, kan? Kalo jual diri pakek kerjaan gitu, mah, tiap hari juga lo jual diri kali." Wisnu kelihatan tidak peduli, ia memunggungi Naka. Meski sikapnya sangat menyebalkan, Naka tahu kalau sahabatnya itu pasti mendengarkan ceritanya.

"Bener juga. Seminggu ini, gue bakalan ikutan panitia acara seminar jurusan." Naka melanjutkan ceritanya sambil mengisi air di gelasnya.

"Kalo lo udah kelar makan, tolong tutup pintu. Tutup, ya. Sampe ketutup."

Naka bangkit pelan-pelan dari duduknya, kemudian ia keluar dari kamar Wisnu dan berteriak setelah cukup jauh. "Anah, lupa gue nutup pintunya. Tutup sendiri, ya."

Naka sudah tahu kalau Wisnu tengah murka setelah ia mendengar umpatan sepenuh hati yang mampu menghiasi pagi. Ia tertawa. Membuat Wisnu kesal sudah cukup menjadi sarapannya.

Kalau kesalnya Wisnu adalah hidangan utama, mengantar Ayu adalah hidangan penutupnya. Katanya cinta itu buta, tetapi menurut Naka, cinta itu hanyalah Ayu seorang. Basi banget kalau kata Wisnu. Meski harus disibukkan dengan urusan di kampus, selama masih bisa mengantar jemput Ayu, Naka pasti akan datang seperti pangeran berkuda putih. Cuma kudanya diganti motor matik merah yang umurnya sudah hampir satu dekade saja.

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang