16. SIAP

22 14 8
                                    



Pukul setengah 10 malam Rouf sampai di rumah, "Dev, Devan!" teriak Rouf, mencari keberadaan manusia satu itu.

Rouf mengetuk kamar Devan, tidak ada jawaban. Lantas mencoba membuka kamar Devan, tidak terkunci. Rouf masuk dan melihat ke sekeliling, ada sesuatu yang mencurigakan, dibawah sinar lampu belajar yang ada di kamar Devan, Rouf melihat bercak darah di kertas, dan tisu bekas mengelap darah yang ada pada hidung Devan tadi.

Dengan tatapan panik, Rouf segera menggoyangkan bahu Devan, mencoba membangunkannya. "Dev! Woi lo kenapa anjir?! Devan!" namun, tidak ada respon. Rouf mengecek suhu badan Devan dengan memegang dahi nya, panas, gumamnya. 

Dengan segera Rouf mengompres Devan, cuek-cuek begitu kalau Devan sudah sakit Rouf tidak akan tinggal diam. Devan sudah dianggap sebagai kakak, kakak yang baik, keluarga yang baik. Makannya Rouf tidak rela jika Devan terluka.

***

Malam berlalu begitu saja, Rouf tidak sengaja ketiduran di ranjang Devan. Mungkin dia kelelahan, Devan yang bangun terlebih dahulu, membangunkan Rouf untuk melaksanakan Shalat Subuh.

"Eh, Dev, lo gapapa?" tanya Rouf panik, melihat Devan yang sudah berdiri di sebelahnya.

"Ngga. Udah ayo buruan bangun Shalat Subuh," ucap Devan dengan santainya, sambil melilitkan sarung.

Seusai shalat Rouf tidak mengurungkan niat dan malah bertanya dengan sedikit berteriak. "Kenapa ada noda darah di meja lo, Dev?"

"Mimisan sedikit," jawab Devan dengan santai.

Rouf hanya merespon dengan menghembuskan nafas lega, lantas pergi menuju kamarnya.

Devan segera membereskan kekacauan di kamarnya itu, lantas bersiap pergi ke sekolah.

***


Sesampainya di sekolah, Devan lagi lagi merasakan pusing di kepala nya. Ia tidak menganggap serius hal itu, Devan pergi ke UKS meminta obat lantas pergi menuju kelasnya. Ujian jam pertama adalah Sejarah, sungguh menguras otak. Semuanya berjalan dengan lancar, tidak ada yang terjadi dan tetap Devan yang biasanya. Mengerjakan tanpa ragu, menorehkan tintanya diatas kertas putih tanpa ada yang dilewati.

Sampai pada mata pelajaran terakhir yang diujikan, Devan merasa pusing sekali. Pandangannya kembali kabur, namun dia berusaha tetap kuat. Sampai bel berbunyi Devan segera pergi keluar, tidak menemui Damara kali ini.

Sudah 2 hari dia melakukan hal yang sama, karena sibuk memikirkan acara yang sebentar lagi akan dilaksanakan, Devan seperti menjauh dari teman temannya.

Hari itu, setelah ujian berakhir.
Devan pergi ke kantin, membeli sebotol air mineral. Teringat, dia belum mengabari Damara, Devan segera menghubungi Damara.

"Ra, lo ke markas sama siapa?" tanya Devan saat telfon itu telah tersambung.

"Rayyan, Dev, lo nyusul aja," jawab Damara.

"Oh, oke. Tapi kayaknya gue ngga ikut lagi deh, Ra, mau ngurusin festival, tapi nanti malem pasti gue jemput lo kok." kata Devan mantap meyakinkan.

"Ngga papa, Dev, gue bisa sama Rayyan atau yang lain, lo selesein dulu kerjaan lo," terdengar nada suara Damara yang sedikit berubah.

"Owh ... okee," jawab Devan singkat.

"Bye," ucap Damara di akhir dan langsung mematikan telfon itu sepihak.

Devan berjalan menuju taman yang ada di depan sekolah, duduk dan melamun. Nampaknya Damara marah, karena belakangan ini Devan nampak sangat sibuk, dan Damara nampaknya lebih dekat dengan Rayyan. "Apa Rayyan sudah mengungkapkan isi hatinya? Mengajak Damara pacaran, mungkin? Ah entahlah," gumamnya dalam hati.

ARVAGOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang