"Orang yang bahagia diatas keterpurukannya.".
.
.
.
.30 menit setelah Devan siuman, Rouf datang. "Weh bro, lo ngga papa?!" ucap Rouf saat baru saja membuka pintu kamar Devan. Devan sedang duduk bersandar dia atas ranjang sambil membaca majalah.
"Santai, ngga papa." jawab Devan, "Itu tangan lo kenapa?" tanya Rouf lagi.
"Patah, tapi ngga terlalu parah." jawab Devan santai. "Lo masih bisa santai ya anjir, gue panik!"
"Hehehe..."
"Damara ngga tau kan, Ro?" tanya Devan kali ini, "Engga, baru gue yang tau."
"Btw, lo tau kalo mereka, pacaran?"
Devan hanya tersenyum pahit menanggapi pertanyaan Rouf.
"Lo gapapa, Dev?" Rouf berkata untuk memastikan.
"Kenapa ngga baik-baik aja? Gue seneng malah. Ada yang bisa bikin Damara bahagia."
"Yaa, siapa tau lo sakit hati, secara kan, kalian deket banget."
"Engga lah, lo balik aja sana gue juga paling besok dah boleh pulang," pinta Devan.
"Enak aja, temen gue sakit terus gue tinggalin sendirian, kaya ngga setia kawan banget dong."
"Serah lo dah,"
Benar saja keesokan harinya Devan di perbolehkan pulang, tapi sebelum itu dia menemui Dokter Zia terlebih dahulu. Rouf berada di rumah membersihkan rumah dan membeli makanan.
"Tante Zia?" panggil Devan saat memasuki ruangan Dokter Zia itu. Ruangan bernuansa putih, dengan rak buku yang penuh dengan berkas berkas pasien. Di meja terdapat sebuah foto, ya, foto Dokter Zia dengan Tante Rena-Mama Devan. Devan tersenyum melihat foto itu, senyum Mamanya sangatlah indah.
"Eh, Devan, duduk sini" Dokter Zia mempersilahkan.
"Kenapa kesini?" tanya Dokter Zia mengawali pembicaraan mereka berdua.
"Katanya suruh nyamperin buat ambil barang Mama yang ketinggalan, sekalian mau tanya, sebenernya Devan kenapa sih, Tan?"
"Kenapa apanya, Dev?"
"Ya, sakit apa maksud nya."
"Nanti Tante jelaskan, sekarang Tante mau ngasih ini," kata Dokter Zia menyerahkan buku warna hitam.
"Ini buku Mama kamu, yang selalu dia tulis saat sedang mengandung kamu. Kadang Tante lihat, Mama kamu menangis, tersenyum, dan tertawa saat menuliskan kata-kata dalam buku ini. Mungkin ini sudah saatnya kamu baca, dan kamu simpan," jelas Dokter Zia, Devan menatap dalam buku itu. Melihat kedalam nya, ya, itu tulisan Mamanya. Tersenyum dan berterima kasih kepada Dokter Zia karena telah menyimpan harta berharga itu untuknya.
"Kalo untuk kamu sakit apa...."
Tringg.... Tringg.... Tringg
Ponsel Devan tiba-tiba berdering, tertera nama Papanya disitu 'Juan'.
Ya, Juan Arshaka adalah sosok yang selama ini dipanggil Papa olehnya. Tapi sikapnya tidak seperti seorang ayah pada umumnya.
"Halo, Assalamualaikum," Devan mengawali pembicaraan di telfon itu.
"Pulang kamu! Besok ada hal penting yang mau saya bicarakan."
Papa Devan menghentikan pembicaraan itu sepihak, membuat Devan termenung dan menghela nafas panjang.
"Kenapa, Dev?" tanya Dokter Zia yang menyadari raut muka Devan.
"Ngga papa, Tan, Devan disuruh pulang. Devan duluan ya, mau siap-siap,"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVAGOS
Teen FictionARVAGOS [ON GOING] "Gue suka sama sahabat lo, Dev!" "Bego lo! tega ngehianatin kita?" "Kebohongan apa lagi yang lo sembunyiin dari kita?" *** Setiap orang pasti mempunyai rahasia, manusia mana yang tidak mempunyai rahasia dalam hidupnya? Disini ban...