Haiii ngabb...
Happy reading
"Level tertinggi mencintai ialah saat kita mulai ikhlas untuk memilih melepaskan, bukan berarti tak ingin berjuang. Namun, karena kita tahu kalau diperjuangkan sekeras apapun, hal yang sudah pasti adanya tidak bisa berubah demi keinginan kita."
.
.
.
.Devan perlahan siuman, melihat sekeliling. Langit langit bernuansa putih, ranjang yang terasa asing, bau obat, dan infus di tangan kirinya. Devan siuman sekitar pukul 11 malam, kepalanya terasa sakit sekali. Badannya terasa lemas, tidak kuat walau hanya mengangkat tangannya.
Devan melihat Rouf yang sedang tertidur di sofa, di depan ranjang yang Devan tempati. Tidak tega membangunkan Rouf, Devan hanya diam. Menatap ke arah langit-langit kamar, terkadang memejamkan matanya lama lalu membukanya lagi. Tanpa dirasa perlahan air mata meluncur tanpa izin dari ujung mata. Devan merasakan sakit yang benar benar hebat.
Bukan hanya sakit fisiknya, namun juga mentalnya. Sakit sekali, Devan kembali teringat sosok Mama, manusia yang sangat Devan sayangi melebihi dirinya sendiri. Sosok Mama yang selalu ada di sampingnya saat dia sendiri, sosok Mama yang selalu sempurna di matanya. Sosok Mama yang selalu kuat dalam pandangannya, sosok Mama yang selalu ada.
"Ma? Devan kangen..." gumam Devan dalam hati, sambil memejamkan mata dan mengingat kembali sosok Mama. Devan rindu Mamanya.
Sejenak setelah itu, Devan merasa pusing dan mual yang luar biasa, sampai membuatnya sedikit berteriak. Hal itu membuat Rouf terbangun. Tanpa pikir panjang Rouf segera menekan tombol darurat, menghubungi perawat.
Darah segar mengalir dari hidung Devan, bedannya gemetar. Devan hanya bisa diam dan menahan rasa sakit yang kini tengah menyerangnya.
Dokter Zia dan beberapa perawat segera datang, menangangi Devan. Diberi obat pereda nyeri dan penenang, agar Devan bisa beristirahat malam ini.
Pagi harinya, subuh Devan bangun. Rouf tidak ada mungkin sedang shalat subuh, karena tepat sekali Adzan Subuh sedang berkumandang. Devan melaksanakan shalat, tetap menjalankan kewajibannya walau sambil terbaring di ranjang rumah sakit.
Seusai itu, Devan mengecek ponsel nya. Pesan dari Damara lumayan banyak.
"Kayanya Damara seneng banget, tch" gumam Devan dalam hati.
"Gue juga ikut seneng, Ra." balasnya tanpa bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVAGOS
Teen FictionARVAGOS [ON GOING] "Gue suka sama sahabat lo, Dev!" "Bego lo! tega ngehianatin kita?" "Kebohongan apa lagi yang lo sembunyiin dari kita?" *** Setiap orang pasti mempunyai rahasia, manusia mana yang tidak mempunyai rahasia dalam hidupnya? Disini ban...