20. MY GIRL

35 10 5
                                    


She is not mine, and never be mine

________________________________

Rasa sakit berada tepat di dalam hati Devan. Marah, sedih, kecewa, menjadi satu saat Devan melihat amplop berwarna coklat diatas meja itu. Tanpa ragu Devan memukul wajah Juan dengan tangannya sendiri, meluapkan apa yang dia rasakan saat ini.

BUGH!

“BRENGSEK!!” teriak Devan sambil memukul wajah Juan, Juan yang kala itu tersulut emosinya balas menampar Devan.

PLAKK

“KURANG AJAR! BERANINYA KAMU DEVAN!” Juan tak kalah keras nya ikut berteriak, untung saja rumah mereka cukup luas, jadi tidak mudah tetangga mendengar perkelahian itu, satpam depan saja belum tentu bisa dengar.

“Kenapa Papa jual tanah peninggalan Mama? Ada hak apa Papa atas tanah itu?!” Devan berkata dengan perasaan marah, dengan nada yang meninggi, dengan rasa sakit yang dia simpan di dalam hati, dengan rintihan kecil yang dia simpan sedari tadi.

Devan mulai menangis, “Itu adalah tempat dimana Mama mulai semuanya, Pa. Tempat dimana Mama dapet kebahagiaan diatas siksaan yang Papa berikan. Disitu tempat Devan meluapkan kangen Devan ke Mama, tapi semudah itu Papa jual?” Devan meluapkan rasa sakit yang selama ini dia simpan, yang selama ini dia rahasiakan.

Ya, Devan sering berkunjung ke klinik bekas Mamanya bekerja, sekedar untuk menyendiri. Tempat favoritnya selain berdiam diri di markas. Kini tempat itu sudah tidak bisa lagi dia miliki, kehilangan tempat untuk mengingat Mamanya lagi.

“Papa ngga punya hak! Semua yang Papa lakuin ngga pernah bikin Devan dan Mama Bahagia. Kemana Papa saat Mama meninggal? Kemana Papa saat Mama sedang kesakitan? Kemana Papa saat Devan butuh sosok orang dewasa buat nenangin Devan? Papa ngga ada. Papa malah berduaan sama wanita penghancur itu. Sejak saat itu Devan benci punya Papa!” Devan berkata tanpa ragu, mengatakan apa saja yang terlintas di kepalanya. Menyulut emosi dan kemarahan Juan, bukan malah menyadarkannya.

“Lo harusnya terimakasih! Bukan malah ngebentak Papa kaya gitu.” Sagara ikut berbicara kali ini.

“Lo ngga usah ikut campur!” balas Devan sambil menatap dingin Sagara.

BUGH!

Tak disangka, rupanya Juan sudah mempersiapkan pukulan itu. “Pukul lagi! PUKUL! Sampe Devan mati juga ngga papa. PUKUL, PA!!” Devan tidak memberontak, hanya berteriak.

“Dasar anak kurang ajar!” Juan Kembali berteriak dan memukul Devan. Tubuh Devan yang belum sempurna sembuh itu merasa remuk. Hancur.

BRAKK!

Juan menghantamkan tubuh Devan ke tembok, keras sekali. Membuat kepala Devan pusing dan badannya terkulai ke lantai. Juan menendang dan menginjak tangan kanan Devan dengan kakinya. “AAARRGGHHH!” Devan hanya bisa berteriak kesakitan, menahan apa yang bisa dia tahan, Devan tidak ada tenaga untuk melawan. Darah segar meluncur deras dari ujung bibir dan hidungnya, badannya dipenuhi lebam dan terasa sakit, kepalanya pusing, pandangannya kabur. Sekejap saat tangan Juan tepat mengenai kepalanya. Gelap. Devan pingsan.

***

Rouf tiba di depan rumah Juan selepas maghrib, pukul setengah tujuh malam tepatnya.

Ponsel Devan berdering, posisinya kini di lantai, ponselnya berada di atas meja. Dengan sisa tenaga yang Devan punya, ia mengangkat panggilan itu.

"Halo, Ro." Devan mengawali pembicaraan.

ARVAGOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang