18. PAIN

34 12 9
                                    

"Terimakasih telah ada di hidupku dan menjadi takdirku, walau tak selamanya begitu tapi tetap ku katakan, aku sayang kamu. "


.
.
.
.
.




"Ra, lo mau ngga jadi cewe gue?"

Damara terdiam sejenak, sedikit terkejut, dengan ragu dia menjawab, "Hah?! Jadi cewe lo?"

"Emmm,"

"Mau,"

Damara tersipu malu saat mengatakan kata, mau. Rayyan tersenyum lebar saat mendengar jawaban Damara. Rasanya seperti mimpi, ternyata selama ini Damara juga menyukainya.

Rayyan memberikan buket bunga yang dibawanya, dengan segera dan tanpa ragu setelah Damara menerima buket itu, Rayyan tiba-tiba memeluknya. Indah sekali malam hari itu, serasa dunia milik berdua. Menghabiskan sisa konser bersama dan mengantar Damara pulang.

***

Seseorang yang tampaknya sedang memperhatikan mereka dari balik pohon, kini tertunduk lesu. Ya. Pria itu adalah Devan, Devan berjalan menjauhi taman dengan menunduk lesu. Di tangannya terdapat sebuah boneka beruang berwarna ungu, yang nampaknya itu akan diberikan kepada Damara. Belum ada jawaban dari Damara namun Devan tahu, dia akan menerimanya.

Ya. Tak apa, mungkin memang ini jalannya. Devan mencoba menahan rasa sakit yang berkecamuk di dadanya. Selama ini Devan yang Bersama Damara, Devan yang menjaganya, Devan yang selali ada di sisinya. Namun, pada akhirnya bukan Devan yang memilikinya.

"Apa karena gue sibuk? Karena gue ngga pernah nemenin dia lagi belakangan ini? Kenapa sih, Ra? Kenapa lo lakuin ini! Gue sayang sama lo, kalo lo tau!" gumam Devan di dalam hati, melawan keinginan hati dan otaknya. Jika kepalanya bilang hanya menjaganya, maka hatinya akan melawan. Tidak! harus memilikinya.

Konser masih terus berlanjut, Damara dan Rayyan yang kini bergandengan tangan meniggalkan Devan yang merasa kesepian, ditengah keramaian. Pukul 9 kira-kira acara itu telah selesai. Seperti biasa Devan harus membantu membereskan apa yang bisa di selesaikan malam itu, bersama Vano.

"Dev, lo kenapa dah, cemberut mulu?" tanya Vano saat menemani Devan membereskan sound di atas panggung.

"Hah? Oh, ngga papa, Van. Cape," jawab Devan, masih sambil menunduk. Vano yang merasa ada hal aneh bertanya lagi.

"Serius? Gue tau lo, Dev, ngga usah bohong,"

"Damara jadi milik Rayyan," Jawab Devan, sambil tersenyum pahit.

Vano hanya merespon dengan menganggukkan kepala, tidak memberi nasihat, tidak menjawab apa apa. Vano tahu yang Devan butuhkan bukan nasihat orang, tapi waktu untuk sendiri.

Hampir selesai pekerjaan itu, tiba-tiba ponsel Vano berdering. Nama Syafia yang tertera.

"Assalamualaikum, No," ucap Syafia mengawali.

"Waalaikumussalam, kenapa?"

"Kamu masih lama selesainya? Kata abi aku suruh pulang sama kamu,"

"Rea udah balik sama cowonya," lanjut Syafia.

"Oh, bentar lagi, tunggu di taman."

"Oke, yaudah,"

"Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam"

Panggilan itu berakhir.

"Dev, gue duluan ya. Udah ditunggu," Vano berpamitan.

"Oke, hati-hati!"

"Lo juga, jangan ngalamun di jalan,"

ARVAGOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang