04. pertemuan.

211 17 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen, ya. Soalnya itu ngebantu banget buat nyemangatin diri aku.  Please lah, ya!

“Ayah, Bunda, tapi Zay masih mondok, Zay juga belum tau siapa yang akan kalian jodohkan pada Zay.”  ucap Zaydan menatap Amel dan Ray secara bergantian. 

Saat ini Amel, Ray dan Zay berada didalam satu ruangan yang tak lain adalah ruangan kerja Ray. Mereka sengaja memilih diruangan itu untuk berbicara permasalahan perjodohan itu, bukan apa-apa, hanya saja ruangan yang menjadi tempat mereka saat ini ruangan yang kedap suara. Ya ditakutkan jika ke empat anak mereka menguping, nanti. 

Amel tersenyum dan menggenggam tangan Zay. “Bunda sama Ayah tidak memaksa kamu, Nak. Jujur, Bunda juga terakhir bertemu mereka saat reuni, dulu.  Tepatnya 2 atau 3 tahun yang lalu. Mereka itu teman Bunda. Lebih tepatnya, Mamah anak itu teman Bunda, dan kebetulan, Papah anak itu juga teman bisnis Ayah, Nak,” jelas Amel. 

“Iya. Tapi jangan kamu fikir kami akan memaksa, kami tidak akan memaksa apa yang akan menjadi masa depan kamu. Kami hanya bicara apa yang mereka minta waktu itu. Mereka meminta agar kami mau membicarakannya sama kamu, Nak. Untuk keputusan tetap berada ditangan kamu. Dan Ayah yakin kalau kamu sudah sangat dewasa untuk memutuskan apa yang terbaik buat kamu, nanti,” timpal Ray.

“Waktu itu?” beo Zay yang memang masih belum benar-benar mengerti. 

“Iya, waktu reuni, mereka meminta agar kamu menjadi Menantu mereka. Ya lebih tepatnya saat itu anak mereka masih kelas satu SMA. Kamu juga baru berusia 20 tahun. Jadi kami fikir kalian masih terlalu muda untuk menjalankan pernikahan. Dan waktu itu kami deal agar membicarakan masalah ini saat anak itu berusia 18 tahun tepatnya saat dia lulus sekolah. Dan sekarang waktunya. Kami sudah menyimpan masalah ini selama dua tahun lebih,” jelas Ray, lagi. 

Amel mengangguk pertanda membenarkan. “Tapi ingat ya, Nak. Kami tidak memaksa. Kami tidak ingin kamu melakukannya karena paksaan. Kami terserah sama kamu, aja. Oke!” ucap Amel mengusap pelan punggung anak sulungnya. 

“Baiklah, Zay bersedia bertemu malam ini dengan dia dan keluarganya. Tapi sesuai kesepakatan, Zay tidak bisa janji kalau Zay akan menerima perjodohan, ini,” putus Zay tanpa ragu.

Amel dan Ray mengangguk mantap. Tersenyum mendengar jawaban tegas dari anak mereka. Bangga! Sudah pasti mereka rasakan.

Suasana cafe malam ini sedikit sepi dari biasanya. Entah karena ini memang bukan malam minggu atau apa, tapi tidak menjadi masalah bagi Amel dan keluarganya. 

Kini mereka sudah berada lebih dulu dari keluarga Syafa. Mereka duduk dipojok kanan cafe itu. Belum memesan apapun karena sepertinya lebih baik memesan kalau keluarga Syafa sudah datang. 

Saat ini Zay berpenampilan sederhana seperti biasanya. Koko putih serta celana bahan berwarna hitam dan peci hitam melekat Indah dikepalanya.

Tidak ada kata gengsi bagi seorang Zaydan menggunakan outfit seperti, itu. Toh yang dirinya kenakan bukan pakaian yang salah, kan?

Setulus Cinta Ustadz ZaydanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang