10.

195 12 0
                                    

~Ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan hidup, maka Allah akan membayar tuntas semua kekecewaanmu dengan beribu-ribu kebaikan.~

~Sayyidina Ali bin Abi Thalib~

=

=

=

“Kenapa sih lu ngeselin banget? Gue kan udah bilang kalau gue gak setuju ikut sama lu ke kampung! Kok lu maksa sih? Lu sengaja karena Orangtua gue gak akan ngebelain gue itu makanya lu seenaknya bawa-bawa gue ke kampung, gitu? Lu kok egois banget sih!” bentak Syafa menatap nyalang Zay yang kini tengah duduk anteng disisi kirinya.

Sementara Zay, Zay hanya diam mendengarkan apa yang sedari tadi Syafa keluarkan dari mulutnya. Biarkan saja wanita itu mengomel sepuasnya, Zay mengerti kalau saat ini Syafa tengah kecewa padanya. Zay diam, bukan berarti takut. Tapi, Zay menghargai apa yang dirasakan oleh Syafa. 

Iya, saat ini mereka tengah menuju ke pondok Abah Zayyid. Sempat Orangtua mereka ingin mengantar, namun Zay tidak mengizinkan dengan alasan jauh. Iya, sudah dikata, bukan? Pondok Abah Zayyid dengan rumah Zay itu sekitar 5-6 jam perjalanan. Jadi, lebih baik do'a mereka saja yang ikut bersama Zay dan Syafa. 

Syafa dengan kedongkolannya akhirnya menerima ajakan Zay. Karena jika tidak, maka siap-siap saja menerima amukan dari Jaka. Semakin waktu berjalan, semakin besar pula rasa kesal, marah, dan benci yang Syafa rasakan untuk Zay. Karena menurut Syafa, Zay terlalu memaksa dirinya untuk ikut ke dalam kehidupan pemuda, itu. 

“Kok lu diem bae sih! Lu tau kan, gue gak bisa jauh dari Mamah sama Papah. Lu juga gak kasih waktu buat gue pamit sama temen-temen gue! Lu gak ada baik-baik nya emang!” omel Syafa, lagi. 

Kali ini, Zay melirik Syafa disampingnya. Terlihat jelas airmata Syafa oleh Netra Zay. Sakit, iya, Zay sakit melihat airmata, itu. Apalagi, sebab keluar airmata itu adalah dirinya. Zay mengakui dirinya egois, tapi ini semua untuk kebaikan Syafa. Dirinya akan lebih mudah mendidik Istri kecilnya itu, disana. 

Zay menghela nafas kasar, menatap manik berair milik Syafa. “Maaf, maaf karena saya memaksa kamu. Tapi, ini demi kebaikan kamu. Demi kebaikan pernikahan kita,” ucap Zay lembut. 

“Lu bilang demi gue? Demi kebaikan gue? Lu mikir gak sih, huh? Gue menderita, Zaydan!” bentak Syafa menatap nyalang Zay. 

Bahkan kini, nama Zay pun sudah Syafa sebut tanpa embel-embel apapun lagi. Terlanjur kecewa hati Syafa. Berfikir bahwa Zay laki-laki yang paling egois yang pernah dirinya temui. 

Zay menatap sendu manik Syafa. Sedikit ada rasa ingin marah dihatinya saat mendengar Syafa menyebut namanya. Bukan, bukan berarti Zay gila hormat, tapi apa yang Syafa katakan barusan bukanlah suatu kebaikan. Zay kembali berfikir, ini terjadi karena Syafa tengah kecewa. Jika tidak, maka Zay yakin Syafa tidak akan mengatakan demikian. 

“Maaf,” lirih Zay pada akhirnya.

Keduanya sama-sama terdiam dengan fikiran yang berbeda. Syafa dengan segala kemarahannya, sedangkan Zay dengan beribu kegundahan hatinya. Berharap keputusannya menjadi pilihan yang tepat dan tidak mengecewakan akhirnya.  Ya, semoga saja. 

=

=

=

Setulus Cinta Ustadz ZaydanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang