14.

347 15 1
                                    


Assalamu'alaikum, man teman. 

Apakah ada yang nungguin cerita ini? Masih kah kalian Setia? Maaf ya aku ngaret. Tapi aku beneran lagi banyak tulisan yang harus aku tulis dalam waktu dekat. 

Jadi, apakah kalian memakluminya?

HAPPY READING!

4444

“Kok demamnya nggak turun-temurun, sih? Apa gue salah kasih obat, ya?” monolog Syafa melihat Zay yang tengah terbaring dengan mata terpejam. 

Syafa menghela nafas pelan. Bingung juga harus apa. Sebelumnya dia tidak pernah melihat laki-laki sakit. Jadi, mana mungkin Syafa bisa mengobatinya, bukan? Jadi harus apa Syafa sekarang?

“Harus apa, dong?! Masa iya gue telepon Mama buat tanyain,” lirihnya. 

Syafa kembali menunduk melihat wajah merah milik Zay. Sedari tadi, Zay terus meringis dalam tidurnya. Mungkin karena panas yang amat, juga sakit yang mungkin saja begitu mendera kepalanya, kan?

“Yaa Allah, kasihan juga, ya?” monolognya. 

Zay mengerjap pelan. Kepalanya terasa berputar. Ini kenapa? Tak biasanya dirinya seperti ini. Kenapa tubuhnya jadi manja? “Eughhh...,” lenguhnya.

Syafa yang mendengar itu langsung menoleh. Menempelkan tangannya di dahi Zay. “A, ke Dokter aja, ya?”

Zay menggeleng. Ingin menjawab tapi teramat susah. Tenggorokannya sakit bukan main. Netranya menatap ke arah Syafa yang terlihat panik. Zay menatap Syafa seolah memberikan isyarat bahwa dirinya tidak apa-apa. Zay tak tega melihat Syafa sekhawatiran itu padanya.

“A, panasnya nggak turun dari semalam!” ucap Syafa, lagi. 

Syafa melirik jam yang menunjukan pukul 07:43. Sudah pagi, tapi Zay tak kunjung mendingan. Syafa dibuat khawatir bukan main karenanya.  Apalagi, mengingat Zay yang semalam menggigil membuat Syafa kembali merasa takut. Pikiran buruk sudah mulai kembali bersarang di otaknya. 

“Nggak usah, Aa nggak papa,” lirih Zay seolah bisikan. 

Syafa menggeleng. Kali ini, dia tidak bisa diam diri seperti ini saja, bukan? Syafa tidak tega melihat Zay yang menahan sakit seperti itu.  “Aa harus ke Dokter! Baru aku bisa tenang! Kalo Aa nggak mau, aku marah sama Aa!” ucap Syafa pada akhirnya. 

Zay menghela nafas sejenak, sepertinya keinginan Syafa tidak terlalu buruk. Lagipun, badannya benar-benar terasa sakit sekali saat ini. Kepalanya terasa amat pusing. Pun dengan perut yang seperti diaduk. Ah, sepertinya Zay memang harus menuruti keinginan Syafa saja. 

Akhirnya, Zay mengangguk mengiyakan. Syafa tersenyum. Gegas Syafa berdiri dan bersiap. Syafa akan mencari kendaran terlebih dulu. Karena, mana mungkin Syafa membawa Zay ke Dokter dengan berjalan kaki, kan? Mana bisa!

****

Pukul 11:30, Syafa sudah sampai di depan rumahnya. Iya, tadi Syafa membawa Zay ke Dokter menggunakan mobil Abah Zayyid. Untung saja saat di jalan tadi, Abah Zayyid melihat Syafa yang kesusahan memapah Zay untuk naik ke dalam angkot, jadilah santri Abah Zayyid yang bisa menyetir, Abah Zayyid tugaskan untuk mengantar Zay dan Syafa ke Dokter yang berada di desa sebelah.

Cukup ngantri, itu sebabnya Syafa dan Zay baru pulang. Kasihan, Syafa melirik Zay yang tengah duduk di sofa dengan tangan yang menyilang menutup kedua matanya. Sudah Syafa paksa agar Zay tiduran di kamar, tapi Zay menolak. Katanya, kalau di kamar mudah tertidur! Dan kata Dokter, itu tidak baik! Terlalu banyak tidur bisa mengganggu kesehatan.

“Ini tehnya, A,” ucap Syafa menyodorkan satu gelas teh manis hangat pada Zay.

Zay membuka perlahan netranya. Menatap Syafa yang tengah tersenyum canggung ke arahnya. Zay bersorak dalam hati. Akhirnya, iatri kecilnya itu bisa dia taklukan perlahan. Tapi..., apakah harus seperti ini dulu agar Syafa perhatian padanya? Jika memang demikian, maka rasanya Zay rela jika harus merasakan sakit lebih lama, lagi. 

“Syukron yaa Zaujatii,” ucap Zay serak. 

Syafa tersenyum. Jangan katakan jika Syafa tidak mengerti apa yang Zay katakan barusan. Sebodoh-bidohnya Syafa, Syafa hapal kalo cuman syukron.

“Sama-sama!” jawabnya.

Zay menaruh kembali gelas yang isinya sudah dia minum setengah, kemudia, Zay melirik ke arah Syafa yang juga tengah memperhatikannya. Zay tersenyum manis, sangat manis. Lesung pipi yang dua miliki terlihat meski samar.  “Kalo Aa bilang syukron, berarti jawabnya bukan sama-sama, Sayang,” ucap Zay mengusap pelan kepala Syafa. 

“Ya kan aku gak tau!” seru Syafa memajukan bibir mungil miliknya. 

“Mau Aa kasih tau, nggak? Biar sayangnya Aa ini tau!”

Syafa tidak menjawab dengan lisannya. Tapi dia mengangguk pertanda mau. Zay kembali tersenyum. Lucu sekali istri kecilnya itu! Benar-benar menggemaskan!

“Kalo Aa bilang Syukron, Kamu jawabnya 'afwan,” ucap Zay.

Syafa mengernyit. “Bukannya 'afwan itu maaf, ya? Wah, salah lu!” seru Syafa menatap remeh Zay.  “Sok-sok-an mau ngajarin! Lu aja kagak tau! Huh, payah!” lanjutnya. 

Zay hanya bisa terdiam melihat kelakuan istri kecilnya itu. Ck, benar-benar menyebalkan! Sudah salah, ngotot pula! Untung sayang!

“Apa? Nggak terima ya gue bilang salah?! Lagian, kalo mau ngajarin orang itu harusnya belajar dulu! Ini pinteran juga gue! Gini-gini, gue juga bisa bahasa arab! Dan 'afwan itu artinya maaf! Bukan sama-sama!”

Ampun Syafa!

*****

Hai! Apa kabar?

Ada yang masih Setia nunggu Syafa nggak? Ngaret, ya? Maaf, ya! Maaf banget!

Selamat membaca!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setulus Cinta Ustadz ZaydanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang