12.

201 14 2
                                    


Banyak orang mengatakan:

‘Mencinta wanita itu sangat menyiksa’

Tapi, sebenarnya yang sangat menyiksa itu adalah mencintai orang yang tidak mencintai kita

~Imam Syafi'i~

Satu minggu sudah berlalu. Hari demi hari telah Zay dan Syafa lalui. Seperti biasa, sikap dan sifat Syafa belum bisa Zay ubah. Tapi setidaknya satu hal yang sudah bisa Zay perbaiki.

Sholat subuh! Iya, selama berada disana, Syafa selalu bangun tepat waktu saat shubuh. Dan melaksanakan sholat berjamaah dimasjid pondok. Syukurlah.

“Gue mau jalan-jalan sama Lia, boleh, kan?” ucap Syafa meminta izin pada Zay yang kini tengah menyeruput kopinya. 

Zay sedikit menimang permintaan Syafa. Hari ini hari jum'at, itu artinya kegiatan santri libur sampai sore, jadi, kenapa Zay harus melarang?

“Kenapa kamu tidak sama ‘Aa saja jalan-jalannya? Kenapa harus sama orang lain?” tanya Zay memandang Syafa yang kini terlihat anggun dengan balutan gamis hitam polos  dibalut jilbab Cokelat sedikit bermotif bunga. 

“Ck, gue pergi bukan sama orang lain, A. Gue sama Lia. Temen baru gue,” jawab Syafa mengerucutkan bibirnya. 

Iya, Syafa memang sudah sedikit terbiasa memanggil Zay dengan sebutan ‘Aa, tapi belum bisa jika memanggil nama pada dirinya sendiri. Sangat sulit baginya. Sungguh!

“Tetep aja, Ay. Kamu sama ‘Aa aja, ya? Kita jalan-jalan keliling pondok. Mau?” tanya Zay. “Kalau tidak mau juga tidak papa. Itu artinya ‘Aa tidak mengizinkan kamu keluar, hari ini,” lanjutnya saat melihat Syafa akan melontarkan kalimat penolakan.

Syafa menggeram kesal. Lama-lama kepalanya pecah menghadapi sifat Zay yang semakin hari semakin ngelunjak. 

“Oke! Gue mau jalan-jalan sama, lu!”

“‘Aa, Ay. Jangan lu. Dosa. Kamu juga jangan gue terus. Kamu harus ganti. Neng, atau aku. Jangan gue. ‘Aa udah bosen ya denger kamu gak rubah kata, itu. Jadi, mulai sekarang ‘Aa tetapkan hukuman kalau kamu masih bilang gue atau lu, lagi!” ucap Zay tersenyum jail. 

Syafa melebarkan matanya. Apa lagi, ini? Peraturan macam apa, ini?

“Gue gak mau! Apa-apaan sih!” tolak Syafa.

“‘Aa gak nerima penolakan dari kamu, Syafa. Pokoknya, mau tidak mau kamu harus mau. Hukuman kalau kamu bilang gue, kamu talaran sama ‘Aa nadzom imriti sepuluh bait. Kalau kamu bilang lu sama ‘Aa, maka hukumannya, ‘Aa akan cium kamu. Di area manapun itu! dan kalau kamu sebut keduanya, maka bersiaplah, keperawananmu akan ‘Aa ambil!” putus Zay berlalu darisana dengan bibir melengkung menampilkan senyuman puasnya. 

Zay fikir, hanya dengan cara ini Zay bisa merubah kosa kata Syafa. Jadi, biarlah. Itung-itung Zay mengurangi jarak diantara mereka, kan? Lagipun, mereka sudah sah. 

Sementara Syafa mematung. Tangannya refleks menyentuh bagian bawahnya yang ngilu sendiri mendengar ancaman Zay. Aishh, kenapa Zay berubah se mengerikan, ini? Tuhan... Apa yang harus Syafa lakukan, kini?

Setulus Cinta Ustadz ZaydanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang