4. 💐Calvin vs anaknya sendiri

272 48 31
                                    






Happy reading guys


💐💐💐





"Ibu jangan pelgi dong. Cyci mau tidul sama Ibu!"

"Ibu!"

"Cyci lagi bicala!" Shena gagal pergi diam-diam malam itu. Bukan bermaksud egois. Jika gemuruh dalam hati juga pikirannya yang masih semrawut itu tak lekas dibersihkan. Takutnya justru berdampak pada anak-anak. Ia takut lepas kendali di hadapan dua buah hatinya itu. Ia takut jika menjadi orang tua seperti papa dan mamanya dulu saat dirinya kecil.

Bagaimana mereka selalu mengomelinya entah salah ataupun benar. Shena tentu ingat semuanya. Maka, demi menjaga perasaan anak-anak, ia lebih baik mencari waktu sendiri untuk mengatur kembali perasaannya. 

"Ibu! Cyci nggak nakal,loh, hari ini." Cysara, anak yang sudah dipakaikan piyama bermotif katak hijau itu tetap bersikukuh memegang ujung baju ibunya. Tidak menangis memang, mungkin sedang ditahan karena terlihat jelas dari bibirnya yang mencebik erat.

"Nggak, Sayang. Cysa, kan, anak baik. Nggak nakal,kok." Sambil berkata demikian, ia lirik Calvin yang berdiri di belakang dua anaknya. Berharap laki-laki itu bisa membujuk mereka sebentar. 

"Ya? Ibu pergi ke rumah Nenna, nggak apa-apa, kan?" Alih-alih ucapan itu ditanggapi, Cysa lebih memilih berlari menuju bawah meja makan. Ia duduk sambil mendekap kedua lututnya di sana. Cysa memang lumayan jaim ketika meminta Shena untuk tetap ada didekatnya. Tidak seperti Clay yang justru sangat terang-terangan. 

Anak laki-laki itu tak perlu diberikan banyak alasan, ia sudah mau mengerti. Namun, jika nanti Shena sudah pergi. Clay akan melampiaskan tangisnya diam-diam. Kadang sambil bermain atau belajar tanpa sepengetahuan siapapun. Mungkin, ia berpikir ingin mencontohkan pada adiknya beginilah cara menurut pada orang tua. Akan tetapi naluri kecilnya memang tak bisa berbohong jika ia tak bisa jauh dari sosok ibu. 

Aksi dari Cysara berhasil mengundang tawa kecil Shena. Karena ia yakin pada Calvin bisa menangani mereka berdua, maka saat itulah Shena putuskan untuk pergi. Ia juga sudah pamit baik-baik supaya anak-anaknya tidak kepikiran.

Masih memberengut. Anak dengan empeng yang tergantung di leher itu menatap kepergian sang ibu dengan wajah memerah. 

"Ibu nggak mau dengal Cyci bicala! Cyci tidul di kandang aja nanti! Rumahnya dijual aja! Ibu cuma sayang sama Nenna!" Daripada meratapi ucapan anak kecil itu, Calvin justru terpingkal-pingkal. Ia hampiri sang anak yang semakin merapatkan pelukan pada lututnya. 

"Kakak, sini bantu Daddy buat—-" ucapan Calvin terputus begitu mendapati Clay berlari menuju lantai dua. Anak lelaki itu berseru,"Clay mau pipis!" Menjadi orang tua tidak selamanya bisa mengenal bagaimana karakter sang anak. Yang Calvin tahu tentang anak pertamanya, anak itu tak pernah bermasalah jika Shena pamit bepergian. 

Namun, kenyataan yang ada. Clay yang tadi pamit untuk buang air kecil. Kini terlihat menangis sesenggukan sambil memainkan mobil-mobilan miliknya di kamar. 

Sekitar hampir setengah jam berjalan. Calvin berhasil membuat Cysa mau keluar dari kolong meja setelah mengerahkan semua bujuk rayunya. 

"Cumi boleh bobo sini benalan, ya?" Wajah berantakan, bekas air mata dan keringat bercampur jadi satu. Namun, meskipun begitu Calvin suka sekali menciumi putrinya. Aroma telonnya masih sangat segar. 

Shena membolehkan mereka memelihara kucing di dalam rumah selama ini. Dengan catatan setiap malam harus di kandang. Mengingat ia masih belum begitu bersahabat dengan bulu kucing, jadi harus tetap memperhatikan kondisi sekitar.

Pelangi untuk DYBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang