3

341 12 0
                                    


"Eguhh," perlahan Rafka membuka matanya yang sangat berat itu. Yang pertama dia lihat plapon berwarna putih, ah apakah Rafka sudah di alam lain? Tapi kenapa secepat ini? Baru saja tadi Rafka merencanakan semuanya dan bahkan belum membeli baju terakhirnya tapi Rafka sudah dulu pergi, menyedihkan.

Tapi semua yang ada di pikiran Rafka langsung buyar semuanya karena dia mendengar suara kedua temannya.

"Raf, Raf sadar woy."

"Raf Lo gak buta kan? Lo masih liat kita berdua kan?"

"Raf jangan bilang Lo amesia lagi?"

"Ber-- uhuk uhuk uhuk."

"Eh eh eh panggil dokter cepetan."

Calvin dan Ridho sama-sama panik karena dari tadi Rafka terus batuk hingga wajah Rafka yang putih bersih itu berubah menjadi merah dan mereka yakin itu sangat menyakitkan.
__________

"RAFKA!"

"Kemana lagi anak itu? Bisanya cuma keluyuran aja."

"Mas, Rafka ngabarin kamu gak dia pergi kemana?"

"Mana saya tau."

"Mas aku nanya serius, kamu tau gak Rafka pergi mana soalnya dari tadi aku panggil dia tapi gak nyaut-nyaut, di kamarnya juga gak ada."

"Hahh, tadi aku hukum dia di kolam renang, tapi sekarang dia sudah gak ada, mungkin dia sudah pergi bermain."

"Ngomong kek dari tadi, ya udah cepetan abisin kopinya, aku udah gak sabar pengen ketemu anak ku."

"Duluan ke mobil."
________________

"Raf, jangan di tahan."

"Di batukin makin sakit do," ucap Rafka dengan suara yang serak karena menahan batuk.

"Batukin dulu, terus makan," ucap Calvin.

"Kalian gak bosen apa dari tadi di sini terus, gue aja sampe eneg liat Lo berdua," ucap Rafka.

"Jangan sok ngalihin pembicaraan, cepet bangun, makan."

Dengan sedikit paksaan akhirnya Rafka mau makan juga meskipun beberapa kali dia terbatuk membuat makanan yang ada di mulut Rafka sedikit-sedikit keluar.

Setelah makan, ridho dan Cilvin berpamitan pulang dulu karena mereka harus meminta ijin kepada orang tua, mengganti baju setelah itu kembali lagi ke rumah sakit.

Bagi mereka teman segalanya, teman bukanlah hanya 'teman' mereka sudah saling menganggap saudara, dan saudara adalah segalanya, bukaan cuma pas senangnya saja datang tapi pas kita sedang di bawah pun mereka selalu ada.

Lihatlah persaudaraan mereka yang begitu amat erat, saling menguatkan satu sama lain.
______________

Brakkk

"MEMALUKAN! BISANYA CUMA NYUSAHIN ORANG SAJA!"

"DASAR BODOH!"

"TOLOL!"

"ANAK SIALAN!"

"GAK BISA DI ANDELIN!"

Brakkk

Dengan nafas yang terputus-putus, Gisan terus memukuli tubuh anaknya tanpa ampun, meskipun sang anak sudah tidak berdaya dan bahkan pingsan.

"Bayar sendiri biaya rumah sakit kamu!" Ucap terakhir Gisan sebelum benar-benar pergi.

Rafka mendengar dengan jelas apa yang ayahnya ucapkan, sakit? Tentu saja, di culik dari rumah sakit ke rumah, di rumah bukannya di urus tapi malah di pukuli habis-habisan hingga tak berdaya seperti ini.

Batin dan fisiknya  sama terluka yang begitu dalam. Rafka, dia hanya remaja biasa seperti yang lain. Bahkan Rafka pernah berfikir mana yang akan kuat? Fisiknya atau batinnya? Jika fisik kalah itu berarti dia akan mati, tapi jika batin kalah maka dia akan depresi dan bahkan gila mungkin.

Rafka juga capek jika harus seperti ini terus, dia hanya ingin kebebasan, dia hanya ingin keluarganya seperti keluarga Cemara. Segala kekurangan pun Rafka ikhlas asalkan mereka selalu ada untuknya. tidak seperti ini, Segala tercukupi tapi mereka sangat amat sibuk degan dunianya masing-masing hingga mereka melupakan peran di dalam keluarga.

Mereka hanya bisa menuntut supaya anaknya bisa melebihi dia di usia muda, padahal setiap anak itu berbeda-beda bukan.

Sekarang Rafka hanya pasrah saja dengan hidupnya sekarang dia di kurung di gudang belakang rumahnya yang bahkan sangat jarang ada orang yang berlalu lalang di tempat ini, jika hewan sih mungkin saja. jika ada yang menolongnya mungkin Rafka masih hidup jika tidak Rafka hanya berharap mereka tidak menyesal dengan apa yang sudah mereka perbuat selama ini.
____________

Seorang pemuda membuka mata indahnya dengan perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam Indra penglihatannya.

"Mimpi."

Rafka masih belum bergerak sama sekali, dia asik melamun, menatap plafon yang berwarna putih itu.

"Dan gue harap ini beneran mimpi," ucapnya lagi.

"Selalu saja tertampar dengan kenyataan."

Tanpa dia sadari, satu tetas air mata berhasil keluar. Kenapa takdir begitu kejam, terus mempermainkan kehidupan Rafka.

"Udah bangun ternyata, gue kira udah mati."

"Munafik!"

"Lo yang munafik anjing! Udah gue tolongin bukannya ngucapin makasih malah ngehina, nyesel gue!"

Rafka bangkit dari tempat tidurnya mesipun tubuhnya terasa sangat remuk sekali, dia mengambil cutter yang tersimpan di dalam laci.

"Gue mau minta tolong," ucap Rafka di hadapan orang itu.

"Pegang ini," Rafka menyerahkan cutter itu ke hadapannya, Rafka tersenyum ketika dia menerima barang yang Rafka berikan.

"Bunuh gue."

Orang yang ada di hadapan Rafka Sekarang hanya membolehkan matanya, sungguh ini jauh dari ekspektasi nya, dia kira akan seperti biasa hanya beradu mulut saja dan berakhir perang dingin, tapi sekarang dia malah menyuruhnya untuk membunuh Rafka.

Orang yang ada di hadapan Rafka, menarik tangan Rafka dengan kasar, dia mengarahkan ujung cutter itu ke nadi Rafka. Secara perlahan Rafka mendapatkan luka gores di denyut nadinya, bukannya kesakitan ketika ujung cutter semakin dalam menusuk tangannya, Rafka hanya tersenyum dengan air mata yang terus mengalir.

"Selamat ulang tahun."

Brukk

Rafka terjatuh pingsan dengan tangan yang terus mengeluarkan darah. 













__________________TBC________________

RAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang