10 || Bukan Sekadar Mimpi

46 6 0
                                    

TIDAK ada istirahat bagiku dengan menghilangkan kesadaran setelah terobati. Hanya luka ringan. Ya, aku harus memaksakan diri untuk percaya jika tengah mengalami luka ringan meski mengalami banyak goresan besar pada kulit. Mataku masih bisa terjaga selama mungkin dan dapat menunggu terbangunnya River di rumah sakit yang sudah kami kunjungi.

Baju kasual yang kukenakan, kini digantikan dengan pakaian berwarna hijau. Garis luka yang besar pada lengan, satu pergelangan kaki sedikit terkilir dan efek benturan kepala yang terasa sampai sekarang. Sedangkan River, keadaanya lebih parah dengan lengan patah, banyaknya tancapan kaca di kulit, beserta bocornya kepala. Perawatan medis untuknya telah terjalani dan kini masa penyembuhan dengan istirahat.

Pihak rumah sakit memintaku untuk memanggil wali kami berdua. Sementara itu, aku tidak tahu kerabat mana yang harus dihubungi.

"Halo?" sapaku setelah panggilan telepon tersambung pada kontak nama yang tertera jelas milik Kai.

"Ada apa, Ley?" Suara balasan terdengar samar-samar dengan keributan di belakangnya. "Masalah izin outing, sudah kuurus. Tenang, sekarang istirahat aja. Kamu pasti shock berat setelah kemarin malam, 'kan?"

Begitu tanggap dalam situasiku. Mungkin saja aku akan tersenyum lega karena perkataannya apabila masih berada di apartemen.

 "Iya, tapi—"

Kalimatku terpotong dengan banyaknya suara mengitari Kai dan rasanya tidak nyaman untuk berbicara. Pasti mengasyikan berada di puncak ketika sore hari ini.

"Sorry, di puncak banyak orang. Tadi mau bicara apa?" tanya Kai dengan suara langkah kakinya.

"Aku di rumah sakit," kataku dengan volume rendah. "Bareng River."

Suara terkejut yang memekak darinya, sampai-sampai aku menjauhkan ponsel dari telinga.

"Kenapa bisa?" tanyanya panik, bersamaan dengan bunyi kaki yang tengah berlari. "Oke-oke. Rumah sakit mana? Ah ya, sharelock aja dan aku ke sana sekarang, Ley."

"Iya, hati-hati di jalan," jawabku sebelum panggilan ini terhentikan.

Selama beberapa saat, aku merasa bingung dalam mengirimkan lokasi rumah sakit. Setelah berhasil, aku hanya bisa terdiam untuk menunggu. Jarak antara tempat kami sangat jauh, maka karena itulah aku tidak berharap bahwa dia akan hadir sebelum sebelum matahari terbenam.

Dari ruang inap dan melihat ke luar jendela, area depan rumah sakit cukup ramai. Perasaanku yang sedari tadi kurang nyaman berada dalam kesepian dan ketakutan. Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk ke luar sesudah memanggil seorang perawat. Awalnya, aku ditawarkan untuk menggunakan kursi roda, tetapi aku menolak. Meskipun banyak bagian tubuh terperban, aku merasa kuat untuk berjalan ke mana pun asalkan ditemani.

Sampailah aku pada luasnya area yang letaknya di bagian belakang parkiran kendaraan. Salah-satu bangku kayu telah aku duduki sendirian dan mulai melirik ke segala arah demi keamanan. Hanya ada beberapa orang mengenakan kursi roda, pasien yang membawa tiang infus dan saling mengobrol. Tidak ada siapa pun yang terlihat mencurigakan. Banyaknya kendaraan yang hadir, begitu pun ambulans dengan membawa pasien-pasien baru.

Apa yang kurasakan adalah keinginan untuk pergi dari sini akibat tiada ketenangan sedikit pun padaku.

"Ley!"

Terdengar suara Kai dari kejauhan. Kepalaku menoleh ke belakang, lalu melihatnya berdiri di depan pintu masuk dan bersama perawat dalam mencari-cariku. Sebelum aku mengangkat tangan untuk memanggilnya, dia pun berhasil menemukanku dan berlari mendekat.

"Kenapa di luar?" tanyanya dengan air muka khawatir dan menatap bagian tubuhku yang diperban. "Ayo, masuk. Di sini dingin."

Aku menggeleng. "Di sini aja, nggak pa-pa."

Deja Vu [ Ashley Lincate ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang