Magnet

91 4 0
                                    


"Hendra lihat, ada nona Aruna, berdiri dibelakang". Surya memberi kesempatan atasannya mengintip gadis kecil yang diteriakkan namanya selama dua jam. Hendra segera menyambut, membuka matanya lebar-lebar, menatap Aruna penuh semangat dari lubang sebesar kepalan tangan.

Kehadiran gadis itu membawa magnet tersendiri. Semangatnya kembali pulih, bersama dengan perasaan hangat membuncah di dada.

Nyatanya Aruna tampak enggan mendekat. Dia sedang memahami situasi.

"Sayang". Ayah Lesmana menatap lembut di iringi gerakan yang menyiratkan makna 'mendekatlah kesana'.

Untuk sebuah rasa hormat kepada ayah, gadis itu melangkah. Walaupun sejujurnya dia ragu.

Di sisi lain kedua kakaknya merasa aneh, mengapa laki-laki di balik gerbang menjadi tenang. Mungkinkah dia mengurungkan niat?. Ah' sepertinya itu mustahil.

"Aruna?!". Kak Anantha tampak terkejut melihat Aruna berada di antara mereka. Kakak laki-laki itu mencoba menghentikan Aruna.

"Satpam! Amankan kakak!". Kepala keluarga sedang menunjukkan pengaruhnya.

"Apa-apaan Ayah.. lepas.. lepaskan". Dua orang satpam sedang berusaha keras memegangi Anantha, bahkan tukang kebun keluarga di kerahkan untuk memegangi kak Alia.

"Aruna. Jangan buka gerbangnya. Kalau kau melakukan itu. Kau tidak menghargai kakak-kakak mu". Seruan Anantha membuat Aruna terhenti, berdiri sedikit lebih dekat di depan gerbang.

_Mengapa dia berhenti_ Hendra seakan ingin menerobos celah gerbang untuk membujuknya.

"Kau tidak perlu membukanya, jika tak mau. Tapi kumohon mendekatlah". Pinta Hendra, diantara suara berisik perdebatan ayah dan anak keluarga Lesmana.

"Apa kalian tak malu? Mencampuri urusan pribadi adik". Lesmana mengambil alih Alia, ketika dua orang satpam mulai kewalahan memegangi Anantha, Satpam itu kini mendapat bantuan dari tukang kebun. Mereka di paksa masuk kedalam rumah.

"Aruna.. ikuti aku.. ". Hendra membuat suara pada gerbang utama. Pria itu sedang memberi tanda bahwa dia mulai bergeser. Menuju pintu kecil lain di sisi kanan gerbang. Menyisakan tralis-tralis yang biasa di manfaatkan untuk keluar masuk satu orang.

Aruna mengikutinya. Mendapati tatapan mata biru menerobos tajam di antara tralis besi yang berbaris rapih di depan.

Ada rasa lega di hati Hendra. Gadis mungilnya terlihat baru bangun tidur, dibalut piyama putih bermotif buah ceri. Hendra menangkap muka bantal dalam diam. Dia tampak sama saja, wajahnya tidak berubah ketika perjumpaan sebelum-sebelumnya maupun saat seperti sekarang, bangun tidur.

Hendra tersenyum, si dia terlihat lebih indah dengan rambut terurai.

"Maafkan aku.. kau pasti kesulitan beberapa hari ini". Hendra mencoba membujuknya.

"Kau tidak ingin berdiri lebih dekat?". Pria itu mengulurkan tangan, berharap mendapat sambutan dari piyama buah ceri. Sayang, Aruna tidak menunjukkan tanda-tanda, dia masih terdiam tanpa balas.

Hendra menggulung tangannya kecewa.

"Aku.. (ragu-ragu) tidak peduli apa pun yang terjadi antara kau dan kekasihmu. Tidak perlu minta maaf itu bukan urusan ku". Suara Aruna menikam dada, terlontar mengerikan. Menimbulkan rasa nyeri hebat.

Hendra tak kuasa dengan perasaannya. Memejamkan mata sesaat berharap menemukan jalan untuk sembuh.

"Aku butuh bantuan". Kali ini dia berusaha logis. Kembali pada misi utamanya.

Aruna memandang Hendra dengan tatapan enggan.

"Kami akan melakukan konferensi pers untuk meredam stigma masyarakat. Dan aku berharap kamu bisa membantu ku". Kini aura Hendra berbeda.

CIUMAN PERTAMA ARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang