Ku Mohon Aruna

3.9K 162 28
                                    

"Dek.. kok baru pulang?". Panggilan kak Alia di abaikan begitu saja. Si bungsu memilih berlari tanpa melihat tiga pasang mata yang mengawasinya.

Anantha berusaha mengejar adiknya. Berharap Aruna bisa menjelaskan mengapa dia pulang selarut ini. Pukul 11.48, jam dinding di rumah itu sudah kesekian kali dilirik oleh seluruh anggota keluarga.

"Anantha biarkan adikmu istirahat!". Ayah Lesmana memperingatkan putranya. Ayah dan anak saling menatap dengan aura permusuhan.

Aruna berhasil lolos dan menutup pintu secepatnya. Gadis itu menghabiskan malam ini dengan jalan-jalan bersama Damar. Sekedar makan nasi goreng di pinggiran trotoar dan berburu bantal tanpa hasil.

Terduduk sebentar di ranjang kemudian bangkit kembali dan mulai membersihkan diri.

"Tok tok tok". Sekali lagi pintu kamar diketok kakaknya.

"Dek buka pintunya? Kamu sudah makan?". Suara Alia kembali terdengar.

"Alia ayah bilang apa? Biarkan adik istirahat! Kalian bisa bertanya apa pun besok pagi!". Suara ayah meminta dengan serius pada putrinya.

"Apa ayah tidak khawatir? Aruna baru pertama kali seperti ini?". Alia tidak mau kalah dengan statement ayah.

"Ayah melakukan ini karena ayah sangat khawatir". Ada nada kemarahan pada ucapan ayah Lesmana.

Kericuhan seperti ini sudah terjadi selama 3 hari berturut-turut. Dan Aruna masih konsisten memilih bersembunyi di kamarnya.

Aruna mulai memasuki kamar mandi dan membasahi tubuhnya. Rintik air dari shower, menghantarkan tetesan di pelupuk mata. Kali ini dia tidak tahan. Gadis itu tersungkur di bawah dan menangis sesenggukan, sendirian.

***

"Jangan lupa, aku mengirim mu ke California bukan untuk menjadi sahabatnya". Pria tua membuat bulu kuduk sekertaris pewaris Djoyodiningrat berdiri.

Dia hanya bisa terdiam tanpa balas.

"Bagaimana bisa kau membiarkannya berada dalam situasi ini". Sekali lagi mata tua Wiryo menatap penuh tekanan pada lawan bicaranya.

"Maaf, saya lalai. Saya.. ". Surya belum selesai menjelaskan.

"Yah.. Aku tahu, ini salahnya sendiri (dia sedang tidak bersamamu, jadi itu kebodohannya sendiri)". Wiryo memotong ucapan.

"Ambilkan yang aku minta tadi!". Seorang asisten sigap mengambil tagihan pengobatan Hendra.

"Mengapa Hendra memerlukan pengobatan ini". Wiryo menyodorkan kertas putih itu tepat di atas meja depan Surya berdiri. Antara Surya dan Presdir, dibatasi sebuah meja kerja berbahan kayu jati.

Surya melirik sekertaris Wiryo, berharap menemukan kode bantuan. Dan sekertaris Wiryo melempar tatapan dengan pesan tersembunyi. Seolah berbisik 'percuma disembunyikan dia sudah tahu banyak'.

"Tuan muda tiba-tiba pingsan". Jawab Surya penuh keraguan.

"Apa perempuan itu yang membuatnya pingsan". Wiryo seolah tahu, Hendra pingsan dikarenakan post traumatic disorder yang dia derita.

Surya kembali mencuri tanya melalui mata sekertaris kakek Djoyodiningrat. Sekertaris itu tampak keberatan sembari mengekpresikan ungkapan 'aku tidak tahu, jangan tanya lagi'.

"Apa dia begitu menginginkan perempuan itu sampai mengabaikan traumanya". Wiryo mendesak dengan persepsi salah.

"Bukan.. bukan Tania penyebabnya". Surya berupaya meluruskan.

Mendengar ucapan Surya, kening Wiryo mengerut.

"Lalu?". Dia meminta informasi lebih.

"Nona Aruna yang pertama kali menemukan tuan muda tersungkur didekat ranjang tempat nona istirahat". Surya menyusun kata dengan hati-hati.

CIUMAN PERTAMA ARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang