"Kalau nggak keras kepala, bukan Batak namanya."
Mora menuangkan susu yang sudah dibusakan dalam cangkir berisi racikan double espresso, saus karamel, ekstrak vanila, gula merah, dan sejumput garam yang telah diaduk rata. Lalu disodorkannya minuman beraroma harum itu ke satu pelanggan setia Lunar Book Cafe yang duduk persis di hadapannya.
Suara seruputan nikmat terdengar dari pemilik nama Dito Siregar. Seorang mahasiswa pascasarja UI yang juga sepupu jauh Mora. Decak keras lanjut terdengar disusul denting cangkir yang diletakkan kembali ke tatakannya.
Sementara Mora melihat aksi sepupunya dengan kening berkerut dan bibir mengerucut. Perempuan bertubuh rata-rata Indonesia itu memperbaiki posisi topi fendora yang dikenakannya sebelum bersandar santai ke konter dapur.
Siang itu suasana kafe milik Mora terbilang sepi. Hanya ada dua pengunjung selain Dito yang berkunjung. Cuaca di luar yang cukup terik tidak terasa saat di dalam ruangan berkat AC yang disetel maksimal. Seharusnya hari ini Mora kuliah sesuai dengan jenjang pendidikan S-2 yang tengah ditempuhnya di salah satu universitas tertua Indonesia. Namun, dosen yang seharusnya mengajar tiba-tiba absen.
Jadi, di sinilah Mora sekarang. Berdiri di belakang meja bar membantu pegawainya mengurus Lunar. Kebetulannya Dito datang dan langsung memberondongnya dengan pertanyaan tentang ketidakhadirannya di salah satu momen sakral keluarga besar Siregar.
"Keras sih, keras. Tapi janganlah kau sampai tinggalin itu Tiar," komentar Dito.
Mora memutar bola mata. Telinganya mendadak terasa asing dengan logat khas Medan yang keluar dari mulut Dito. Hampir lima tahun merantau ke Jakarta, perempuan itu mulai terbiasa dengan dialek Betawi alih-alih tanah kelahirannya.
"Siapa yang tinggalin, eh? Aku udah calling Tiar. Dia no problem dengan aku yang nggak datang ke Mangulosi (1) bulan kemarin." Mora berdalih.
Dito langsung memelototkan mata. Dilemparnya sebutir kacang ke arah Mora yang disambut perempuan kuning langsat itu dengan tangkapan sigap.
"Banyak alasan kau, bah! Bilang saja kalau kau tak sanggup dapat pertanyaan kapan nikah."
Cengiran Mora tercetak lebar. Dia mengambil minuman untuknya sendiri lantas berjalan keluar dari area bar. Digamitnya siku Dito yang mengikutinya pergi ke satu sudut kafe. "Nah, itu udah tahu alasannya."
"Ya ampun, Mora. Tak kau saja yang kena pertanyaan itu. Aku juga." Dito menggeleng-gelengkan kepala. "Mana Bapa sama Mamak sudah kongkalingkong pula untuk bikin kencan buta dengan pariban Mamak."
Mora tak bisa menahan tawa. Gelaknya terdengar keras. Dua pengunjung yang tengah menikmati kopi sambil membaca buku sampai menoleh. Buru-buru Mora menutup mulut dan menjilat bibir. Dia harus memberikan alasan yang masuk akal agar sepupunya itu berhenti menggerecokinya tentang alasan ketidakhadirannya di salah satu pernikahan sepupu Siregar.
"Aku banyak tugas kuliah, Dito. Ini juga mau daftar jadi volunteer di rumah singgah. Kerjaan aku banyak banget di sini."
"Pendusta licik," dengkus Dito, "kau pikir aku percaya, bah?"
"Ya, terserah kalau nggak percaya." Mora mengangkat bahu pura-pura acuh tak acuh.
Dito terdiam sejenak. Dia memberi isyarat pada satu pelayan kafe Mora untuk memberinya kue manis di etalase. Setelahnya lelaki itu kembali memusatkan perhatian pada Mora.
"Soal nikah itu memang bikin kau galau, ya?"
"Siapa yang nggak?" Mora balik bertanya.
"Tapi, Mora. Kau tahu sendirilah tabiat keluarga kita. Banyak anak banyak rezeki. Cuma keluargamu saja yang kena tulah sedikit anak." Dito mengingatkan fakta bila di keluarga Mora sejak beberapa generasi memang para perempuannya hanya bisa melahirkan seorang anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomanceDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...