“Secepatnya itu lebih baik, Boru. Kesehatan Ompung mulai menurun. Cemana kau mau masih keras kepala macam tu.”
Mora mengertakkan gigi. Rahangnya mengencang. Pandangannya bergantian dari profil wajah sang bapa yang menahan marah lalu berganti ke pintu ruang UGD di belakang pria paruh baya itu.
Sehari setelah pertemuan dengan keluarga Harahap, Ompung mendadak terkena serangan jantung. Ditambah luka tusuknya ternyata terbuka lagi dan ada infeksi yang membahayakan. Akhirnya menjelang tengah malam mereka tergopoh-gopoh membawa Ompung ke rumah sakit.
“Bapa, ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin pernikahan.” Mora mencoba bicara dengan kepala dingin. “Fokus kita harus pada Ompung dulu.”
“Ompung sudah ditangani dokter. Yang terpenting keinginan untuk melihatmu nikah sama anak muda Harahap itu, Mora.”
Kepala perempuan itu berdenyut-denyut. Dia tidak mengerti mengapa topik soal pernikahan mencuat di saat yang tidak tepat macam sekarang. Seolah bapanya sangat tidak peka dengan kondisi ompung yang masih kritis di UGD.
Selain itu, kecurigaan Mora juga mencuat. Bapa dan mamaknya sangat mengejar soal pernikahan, bahkan cenderung terburu-buru. Di adat Mandailing, pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Tidak bisa sembarangan dilakukan. Salah timing saja sudah menimbulkan pergunjingan.
Di situasinya kali ini, jika keluarga mereka terburu-buru menikahkan Mora, bisa-bisa perempuan itu digosipkan telah lepas segel. Makin berabe pula jika sampai Mora langsung hamil setelah menikah. Tak hanya nama baiknya yang dipertaruhkan, cita-cita Mora untuk meneruskan ke jenjang S-3 dan berkarier terlebih dahulu juga bakal sirna.
“Keluarga Sahat Siregar?”
Percakapan bapak dan anak terjeda sejenak. Bapa langsung menghampiri dokter yang keluar dari balik pintu UGD.
“Kondisi pasien sudah stabil. Beberapa jam lagi akan dipindahkan ke kamar inap. Bisa urus administrasinya dulu, Bapak?”
Bapa mengangguk cepat. Kini Mora dibiarkan berduaan dengan mamaknya di ruang tunggu. Sentuhan lembut tangan wanita paruh baya di bahunya membuat Mora menoleh.
“Untung Ompung bisa diselamatkan.” Mamak berkata lembut.
Berdua mereka duduk di kursi logam dingin. Suara keriutnya memecah kesunyian malam. Setidaknya kepanikan sekarang mulai berkurang, berganti rasa kesal karena tuntutan Bapa yang mendadak minta pernikahan dipercepat.
“Mamak sering merasa bersalah pada Ompung.”
Mora melirik wanita di sebelahnya. Pandangan Mamak terpekur, tampak kosong tertuju ke satu titik di dinding di depan mereka. Sementara suara detak jam menemani keheningan malam yang mulai berganti hari.
“Seharusnya Mamak bisa melahirkan seorang putra, atau bahkan lebih, sebagai penerus marga. Tapi sampai kamu besar, tak kunjung juga rahim Mamak terisi seorang calon anak lagi.”
“Mak—“
“Ada satu tujuan mulia mengapa Ompung Dame ingin kamu menikahi pariban kita. Secara bobot, bibit, dan bebet Barata Harahap sangat cocok sebagai babere keluarga kita. Selain itu, pernikahan kalian bisa tetap mengamankan harta keluarga agar tetap berada di tangan kita.”
Kening Mora berkerut. Tak mengerti sama sekali dengan maksud perkataan mamaknya. Wanita itu kembali bicara dengan nada lebih lirih.
“Ompung Pintor sudah kehilangan seluruh hartanya. Tapi utang judi masih terus menumpuk. Dia memang aib dalam keluarga kita, Mora. Tapi kamu dan Barata bisa menyelamatkan kami.”
“Mak, tak mengerti awak dengan semua ini.” Mora menyipitkan mata sembari memandangi mamaknya penuh selidik.
“Ompung Pintor mengincar harta mendiang Ompung Dame. Seharusnya memang harta itu kembali pada keluarga Siregar, tetapi Ompung Pintor bakal menghabiskannya lagi di meja judi.” Mamak berkata serius.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomanceDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...