2 | Melenyapkan Calon Istri

213 57 17
                                    

2

Namun, tak terjadi apa pun.

Wajahnya tidak mencium halaman berbeton. Bahkan tak ada rasa sakit terasa. Yang ada justru rasa panas dan kuat yang memeluk pinggangnya dan menjalari punggung Mora.

Dan perempuan itu tersentak kaget kala merasakan dirinya ditarik ke belakang. Refleks Mora memekik dan berbalik melihat siapa yang sudah menjadi pahlawannya. Sayang, itu kesalahan fatal.

Karena Mora harus berhadapan dengan satu makhluk Tuhan yang punya skala ketampanan di atas rata-rata. Setidaknya bagi Mora, meski perempuan itu yakin para rekan segendernya yang lain juga menyetujui pendapatnya.

Jarak mereka sangat dekat. Amat sangat dekat. Hidung mancung Mora bahkan hampir menempel ke bagian depan dada sang penolong yang berbalut jas kasual. Samar-samar aroma parfum bernuansa hutan yang menyegarkan menyapa indra penciuman Mora.

“Sudah selesai meluknya?”

Mora tersentak kaget. Refleks dia mendongak dengan mata terbelalak lebar. Didorongnya kasar lelaki yang sudah menolongnya agar tidak jatuh menghantam halaman beton.

“Si—siapa yang meluk kamu?” Wajah Mora memerah. Hilang sudah kekagetannya karena hampir terjatuh, berganti dengan rasa malu bercampur kesal akibat tuduhan tak berdasar si lelaki.

“Kamu yang peluk aku,” jawab lelaki itu dingin.

Mora terbelalak. “Kamu—”

Namun, perkataan Mora tak pernah terselesaikan. Lelaki itu tiba-tiba berbalik dan berjalan ke arah kafe milik Mora. Sontak hati sang pemilik Lunar Book Café meradang. 

“Bah, kau pikir bisa kabur gitu aja dari aku?” Mora mendesis pelan.

Cepat-cepat dia kembali ke kafenya. Tetap saja dia masih kalah cepat dibanding si lelaki dingin yang sudah menolongnya, tetapi malah menuduhnya yang tidak-tidak. Mora tidak menggubris tatapan penuh tanda tanya dari Dito yang masih duduk di kursi samping jendela. Langkahnya panjang-panjang sembari memberi isyarat pada satu pelayannya untuk pergi dari bagian bar.

“Ya, mau pesan apa?” tanya Mora setengah ketus sembari memasang apron.

Lelaki yang berdiri di hadapan Mora mengernyitkan dahi. Tatapannya tajam meneliti sosok perempuan yang sudah memakai apron di pinggang dengan logo Lunar Book Café. “Jadi, kamu pelayan di sini?”

Si pelayan sesungguhnya yang berdiri di dekat konter dapur hendak buka mulut, tetapi cepat diperingatkan oleh Mora dengan lemparan lirikan galak. Alhasil si pelayan kembali bungkam dan memilih menyibukkan diri menata cangkir-cangkir kosong.

“Ya, aku pelayan di sini,” jawab Mora ringkas. “Mau pesan apa?”

“Apa pelayan di sini memang sinis-sinis sepertimu? Bagaimana SOP di kafe ini?”

Mora terbelalak. Setelah menuduhnya main peluk sembarangan, sekarang lelaki itu malah mengkritik kinerjanya. Berusaha keras menahan kekesalan yang makin memuncak, Mora memberikan senyum terbaiknya pada lelaki itu.

“Maafkan saya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu? Anda ingin memesan kopi atau kudapan manis kami? Hari ini kami membuat beberapa cake yang cocok diminum dengan kopi-kopi racikan kami.”

“Cerewet.”

Bola mata Mora hampir meloncat dari tempatnya. Tangannya mencengkeram pinggiran meja bar, berusaha keras agar tidak terulur dan mencekik leher si lelaki. Good looking orang ini sudah kalah telak gara-gara bad attitude yang ditunjukkannya lewat mulut pedas. Mora seketika meralat kekagumannya pada sosok lelaki jangkung bertinggi di atas seratus tujuh puluh sentimeter itu.

Pariban in Action (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang