"Medan?" Barata mengernyit. "Si Mora mau langsung ke Medan? Gercep juga dia. Apa tak dimarahi bosnya karena ambil libur cepet?"
Barata melirik kalender. Sebenarnya tinggal minggu depan jadwal pertemuannya dengan keluarga Harahap di Medan. Dia baru saja menelepon Mora karena mengembalikan tiket yang sudah dibelikannya. Pesan perempuan itu kemarin sore memang baru dibacanya siang ini. Barata kaget mengetahui Mora sudah berada di Medan sekarang.
"Siapa yang dimarahi bosnya?"
Jantung Barata nyaris copot. Melempar lirikan tajam membunuh, lelaki itu mengamati maminya yang berjalan mendekat. "Kebiasaan deh, Mi. Ketuk pintu dulu sebelum masuk bisa apa nggak, sih?" Barata mengomel.
"Udah. Pintu kantormu kebuka dari tadi. Mami udah ketuk sekali, kamu ngelamun. Ya, udah. Mami masuk aja langsung."
Barata mengembuskan napas panjang. Kali ini dia mengakui kesalahannya. Pintu kantornya memang dalam kondisi terbuka lebar karena tim pemasaran baru saja selesai berkunjung untuk membicarakan proyek mereka bulan ini.
Sebuah pembangunan blok apartemen di wilayah Surabaya menjadi rencana prestisius terbaru dari Petaland Propertindo. Tidak seperti properti di Jakarta yang sudah dia tangani, blok apartemen Surabaya kali ini sengaja menyasar kaum pekerja, mahasiswa, dan keluarga muda dengan kondisi finansial yang tidak setinggi golongan menengah atas. Karena itu, beberapa kali Barata harus merapatkan harga jual yang mampu mendatangkan keuntungan, tetapi masih terjangkau oleh konsumen mereka.
"Ada apa lagi, Mi?" Barata memilih tidak menjawab pertanyaan maminya.
"Mami mau siapkan martumpol-mu. Papimu ngotot pakai jas formal dari desainer Jakarta saja. Tapi Mami mau kau pakai baju adat warisan Opung."
Kerut di kening Barata kembali muncul. "Martumpol? Tunangan?" Lelaki itu menyebut prosesi sebelum pernikahan khas Batak yang diberi tahu oleh maminya. "Mi, yang benar saja. Aku bahkan belum pernah ketemu sama calon kalian itu."
"Ah, dia paribanmu sendiri, Bara. Tentu pernah kau ketemu sama dia. Masak tak ingat?"
Barata manyun. "Keluarga Mami itu keluarga besar. Apa lagi keluarga Papi, lebih besar lagi. Mana ingat aku sama perempuan yang datang ke sana."
Alasan sebenarnya adalah tiap pertemuan marga, Barata selalu duduk sendirian di pojok. Sengaja untuk menghindari percakapan dengan kerabat Bataknya yang terkenal ekspresif dan super ekstrovert. Kontras dengan dirinya yang introvert sejati.
Terkadang malah Barata sengaja tidak hadir dalam pertemuan keluarga dengan alasan pekerjaan. Untuk ini papi dan maminya tak bisa memaksa karena Petaland memang perusahaan rintisan keluarga mereka.
"Lagi pula aku nggak bisa nikah dengan perempuan lain. Mau itu paribanku sekalipun."
"Kenapa? Karena kau sudah punya pacar? Bah, alasanmu konyol sekali, Bara. Karena Mami tahu persis kau masih jomlo."
Seringai tipis muncul di bibir Barata. "Siapa bilang aku jomlo?"
Ganti Mama yang mengernyit. "Kau masih jomlo. Tak punya pacar. Bahkan orang di kantor ini pun sudah tahu itu."
"Itu dulu, Mi. Sekarang aku punya pacar permanen." Barata tak mampu menyembunyikan nada penuh kemenangan dalam suaranya.
Kerut di kening Mami semakin banyak. Pandangannya tajam menyelidik. Wanita itu memperbaiki posisi duduknya demi bisa melihat sang anak sulung dengan lebih saksama.
"Kau bohong," tuduh Mami tegas.
"Nggak. Bentar lagi Mami sama Papi bakal ketemu sama pacar aku."
"Dan dia pasti bukan orang suku kita." Mami menggeleng-geleng. "Papimu pasti langsung menolak, Bara. Kau tahu sendiri kerasnya prinsip Papi soal pernikahan. Bahkan adikmu saja, si Bora sampai nangis-nangis karena lamaran pacarnya yang orang Sunda itu ditolak sama Papi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomansaDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...