“Narintik awak.” Mora memukul-mukul dahi pelan.
Rasa malu sudah menguburnya hingga habis tak bersisa. Perempuan itu membungkus tubuh dengan selimut, sama sekali tak berani menampakkan muka. Namun, dengan jahatnya benaknya kembali menampilkan ingatan bagaimana gerak refleksnya sangat bagus saat memeluk Barata.
“Apa yang sudah aku lakukan?” Perempuan itu mengeluh keras-keras. Apalagi saat teringat pertanyaan paribannya yang bernada jijik.
“Bisa-bisanya awak main peluk sembarangan. Padahal Mamak sudah ajari bagaimana jadi wanita yang santun.” Pipi Mora memanas.
Dia memang lahir dan besar di zaman modern. Namun, soal pendidikan budi pekerti orang tuanya sangat tegas. Campuran Mandailing yang sangat tinggi semangat islaminya bercampur dengan budaya Jawa milik Mamak yang menjunjung tinggi sopan santun.
Dan jelas tindakan Mora beberapa jam lalu tidak mencerminkan seorang wanita dengan high value.
“Bodo amatlah. Yang penting aku tak main peluk lelaki lain macam ke Bang Bara.” Mora mendesah.
Semalam suntuk dia tak bisa tidur. Habis isya ada satu pesan singkat dari tunangannya. Mami akhirnya siuman, tetapi masih mendapat perawatan intensif di UGD. Bara dengan tegas melarangnya kembali ke rumah sakit, bahkan kalau perlu tak usah datang saja seterusnya.
“Bisa-bisanya calon suami aku bersikap macam tu.” Mora menghela napas berat. “Apa dia benar-benar sudah jijik sama aku? Tak ada kata maaf buat aku?”
Ingatan Mora tertarik ke belakang. Penolakan Barata yang sangat keras pada ide pernikahan tak urung membuatnya mengernyitkan dahi heran. Barata sudah cukup umur untuk menikah. Dia juga satu-satunya anak lelaki dalam garis keturunan terakhir Harahap. Mora percaya lelaki itu pasti sudah paham dengan tanggung jawabnya sebagai penerus marga.
“Tapi kenapa Abang sangat kekeh menolak nikah sama aku?” Mora berpikir-pikir.
Secara silsilah, menikah dengannya adalah pilihan yang sangat tepat. Garis keluarga tetap terjaga. Untuk dirinya dan Barata yang memiliki kemampuan finansial cukup tinggi, harta keluarga juga bisa tetap berada di tangan dengan menikahi pariban. Win win solution seharusnya. Sayangnya hal itu tak berlaku untuk Barata.
Lelah dengan pertanyaan yang tak kunjung berjawab, Mora akhirnya turun tempat tidur. Subuh sudah datang. Azan dari masjid tak jauh letaknya dengan rumah sekaligus kafe sudah terdengar. Khusuk perempuan itu menunaikan ibadah sebelum membuka papan tablet untuk memeriksa jadwalnya hari ini.
Kuliahnya sudah usai. Tinggal melakukan penelitian dan bimbingan dosen. Hari ini tak ada jadwal di kampus. Mora juga sudah membatalkan lamarannya menjadi volunteer di rumah singgah. Waktunya kini bisa total pada pengerjaan tesis dan mengurus kafe ….
… juga mengurus pernikahan.
Bibir perempuan itu manyun saat membaca satu pesan masuk di ponsel. Mamak mengirimkan beberapa foto baju untuk pernikahan nanti. Di mata Mora semua sama saja. Namanya juga baju adat, tak ada yang beda. Tapi Mamak tetap menyuruh anak perempuannya memilih.
“Kenapa nikah itu ribet kali?” Mora mengeluh.
Dia mandi secepat kilat. Membalas pesan mamaknya dengan serampangan. Memberikan instruksi pada pegawainya via grup chat. Lalu bergegas pergi ke rumah sakit. Tak peduli bila Barata melarang keras dirinya dekat-dekat dengan sang mami mertua.
Persis seperti dugaannya, si kulkas dua pintu langsung memasang wajah dingin membunuh saat membuka pintu kamar inap setelah Mora mengetuk. Suara ketusnya terdengar mempertanyakan keberadaan Mora di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomantizmDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...