Mora pusing tujuh keliling.
Pandangannya terpaku lurus ke layar laptop yang terbuka lebar. Di sana tertampil catatan keuangannya bulan ini. Bahkan belum sampai akhir bulan, tapi pengeluarannya sudah hampir mencapai limit saldo yang Mora miliki.
“Masak ngutang lagi?” Perempuan itu bertanya seorang diri.
Benaknya terus mengingatkan pada rekening yang lain. Akun bank yang khusus diisi dengan uang pemberian orang tuanya. Sebagai wujud dari niat hidup mandiri, Mora memang berusaha keras tidak menyentuh transferan bapanya. Pokoknya biar uang itu utuh dan aman, sementara dia menggantungkan hidup dari pemasukan kafe.
“Tekor lagi, Kak?”
Mora menoleh. Satu pegawainya berdiri sembari membawa setumpuk piring bersih. Kafe memang baru saja buka dan persiapan tengah dilakukan.
Perempuan itu menutup laptop. Dia singkirkan sejenak kekhawatirannya akan kondisi finansialnya. Senyum Mora terkembang.
“Bukan tekor kafe. Kalau di sini masih aman.”
Si pegawai mengangguk paham. Diam-diam dia salut pada bos mudanya itu. Demi keberlangsungan operasional kafe, Mora memang sangat berhemat pada diri sendiri. Cenderung pelit malah.
“Ngomong-ngomong, Kak ….” Si pegawai ragu bicara.
“Apa?”
“Orang mesum tempo hari datang lagi kayaknya ke sini.”
Alis Mora terangkat tinggi. Refleks dia melihat ke arah luar. Tak ada siapa pun di sana.
“Tadi aku ketemu dia pas mau buang sampah. Berdiri doang depan pagar.”
“Sambil celingukan lihat sini tak?” Logat Batak Mora muncul.
Senyum lebar si pegawai muncul. Kepalanya mengangguk kuat-kuat. Gerakan itu sudah menjadi jawaban bagi pertanyaan Mora. Ganti sekarang bibir Mora yang menipis sinis.
“Masih berani dia ke sini rupanya. Minta dipanggilin satpam emang tuh orang.”
Si pegawai terkikik geli. Ingatannya masih merekam peristiwa beberapa hari lalu, saat Mora berteriak kencang menyebut seorang lelaki tampan dengan kata mesum. Jika tidak benar-benar membeli kopi, Mora pasti sudah menendang lelaki itu keluar.
Sayang sekali. Padahal itu cowok ganteng banget, gumam si pegawai dalam hati.
“Jangan-jangan dia stalker.” Mora menebak ngawur.
“Yah, mungkin aja, Kak. Kak Mora kan, emang cantik dan seksi. Ramah pula orangnya. Banyak yang pasti mau ngegebet kakak,” kekeh si pegawai terdengar keras. Dia bicara apa adanya tanpa ada nada kecemburuan, Faktanya perkataan yang keluar dari mulutnya itu memang benar apa adanya. Mora adalah salah satu pemicu ramainya Lunar Book Café selain rasa kopi racikan yang sangat autentik.
Saat itulah pintu depan terayun membuka. Sosok jangkung yang mengenakan celana jin pudar dan kaus polo berjalan santai mendekati konter pemesanan. Mora dan pegawainya saling bertukar pandang penuh arti.
“Kalau dia mesum lagi, aku bakal calling satpam ruko sebelah,” bisik si pegawai.
Mora mengangguk. Dia menyimpan laptop dan bersiap menyambut kedatangan pengunjung pertama Lunar.
“Aeropress satu.”
Alis Mora terangkat. Dagu yang terangkat tinggi dengan sorot mata angkuh dan suara sedingin es itu memecut ego perkopian Mora. Dalam hitungan detik, perempuan itu memutuskan untuk menampilkan kemampuan terbaiknya meracik pesanan sang tamu yang tak suka basa-basi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
Любовные романыDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...