Bian meneguk jus jeruk miliknya dengan mata yang masih tertuju dengan ponsel di tangannya. Gadis itu tersenyum sebelum mengetikkan balasan pesan dari teman-temannya itu. Dasar orang gila! Bagaimana bisa Bian bertemu dan berteman dengan makhluk-makhluk yang pikirannya di luar nalar seperti mereka?
Bian hendak tertawa saat melihat Nayara yang salah mengirimkan stiker tapi jus jeruk justru masuk ke dalam paru-paru membuatnya tersedak saat itu juga. Ia tidak bisa bernapas, wajahnya memerah, kepala dan dadanya terasa sakit.
"Uhuk! Uhuk! Ahk!"
Napasnya sudah habis tapi ia masih tersedak. Gadis tomboy itu mengerang hingga akhirnya bisa bernapas dengan normal. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya dengan mata yang tak tentu arah. Jus jeruk sialan!
"Makanya kalau minum, minum aja. Gak usah main hp," tutur mama Bian yang baru keluar dari dapur.
Gadis itu berdecak dan langsung memalingkan wajahnya. Enggan mendengar ceramah tidak penting dari mamanya. Ceramah yang tidak membangun, hanya menyakiti perasaannya.
"Hp-nya simpen sana. Liat raport itu, apa-apaan nilai bahasa Sunda 80? Orang mana kamu? Gak usah sok-sok Inggris kalo tidur, makan, mandi masih di Bandung."
Apa Bian bilang? Benar kan?
"Yang lain juga 80." Bian menjawab sambil menghindari kontak mata dengan mamanya.
"Ya kamu gak usah ikutin yang di bawah. Temen masuk jurang juga kayaknya kamu ikut. Kalo kamu gak masuk UI gimana Bian?" Mama menatap tajam ke arah putri bungsunya. "Aa sama teteh kamu dua-duanya aja bisa masuk UI, kalo kamu enggak, mau gimana mama sama tetangga? Sama temen-temen mama? Emang kamu gak malu apa kalau nanti taunya masuk swasta?"
"Enggak."
Mama Bian menatap tidak percaya kepada putri bungsunya. Gadis kecilnya kini sudah mulai berani padanya. Putri kecilnya sudah berani melawan dan membantah.
"Bian kamu mah sekarang-"
"Iya, maaf." Gadis itu bangkit mengambil gelas dan ponselnya lalu berjalan cepat ke dalam kamarnya.
Dikuncinya pintu putih itu. Ia menaruh gelasnya sebelum membanting tubuhnya ke atas kasur. Menahan perasaan sesak. Kepala dan matanya terasa memanas. Ia memukul keningnya beberapa kali, menahan sesuatu yang akan keluar dari matanya. Ia benci dirinya yang cengeng.
Otak gilanya itu terus berpikir, mencari alasan mengapa air matanya dapat keluar. Apakah matanya terlalu kering hingga kelenjar yang memproduksi minyak tidak bekerja dengan semestinya? Atau karena faktor zat kimia pada otaknya yang mengirimkan kekeliruan sinyal pada otak hingga memerintahkan matanya mengeluarkan air mata, atau bisa juga karena adanya tekanan otot di sekitar matanya hingga air mata itu keluar tanpa perintah. Tanpa ia inginkan. Tanpa ia kehendaki.
Napas gadis itu memburu.
Mau sekeras apapun otaknya mencari-cari alasan, dan pada akhirnya jawaban yang Bian dapatkan selalu sama. Bian tidak kuat menahan kalimat pedas dari sang mama. Pedas, tajam, menyesakkan untuknya yang selalu harus sempurna dengan sebilah pisau yang tepat berada di depan wajahnya. Siap tertancap kalau-kalau ia melakukan kesalahan.
Ingatan-ingatan kelamnya dulu kembali berdatangan. Kala ia harus menghapal 1 buku dalam waktu 2 minggu sebelum hinaan dan makian keluar dari mulut single parent itu. Rasa stres dan takut setiap kali pembagian raport dan kedua kakaknya selalu mendapatkan nilai di atas rata-rata. Sebelum kalimat pedas terlontarkan dari mulut Mamanya.
Bian bisa menuruti kemauan Mama. Asal Mama juga kasih Bian waktu istirhat. 15 menit. Bian minta 15 menit Mama buat dengerin cerita Bian di sekolah. Mama gak tau Bian suka sama siapa, deket sama siapa, kesel sama siapa, makanan apa yang harus mama coba kalo mama ke kantin SMA, guru mana yang harus mama hindarin kalo ketemu, mama harus apa sama temen-temen Bian yang kalau ngomong suka gak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Survive
ActionLetta, Nayara, Bian, Abil, Riri, Azura, dan Nawa. 7 siswa putri yang terkenal di sekolah mereka dengan sejuta bakat sejak awal masuk kelas 10. Mereka pikir kehidupan SMA mereka akan mulus dan dikagumi oleh adik kelas. Lulus SMA dengan nilai besar, k...